Ubah Bencana Banjir dan Rob Jadi “Heritage Kaligawe Sultan Agung Water Canal”
Oleh: Goes Oedji*)
SEMARANG – nujateng.com – Gagasan Direktur Utama RSI Sultan Agung Semarang, dr. Agus Ujianto, M.Si,Med, Sp.B, yang kontroversial untuk mengubah musibah banjir dan rob menjadi “Heritage Kaligawe Sultan Agung Water Canal” atau Festival Rob Tahunan, bukan sekadar respons putus asa, melainkan dapat dilihat sebagai strategi adaptasi ekstrem berbasis manajemen risiko dalam kerangka ilmu pengetahuan dan lingkungan.
Dalam pandangan dr. Agus—yang akrab disapa Goes Oedji—konsep ini muncul dari analisis data empiris tentang penanganan bencana di Pantai Utara (Pantura) Semarang.
Analisis Kegagalan Mitigasi Struktural
Goes Oedji menyoroti bahwa masalah utama di kawasan Kaligawe dan Genuk adalah kombinasi dari curah hujan tinggi, kenaikan muka air laut, dan yang paling krusial, penurunan permukaan tanah (subsidence). Fenomena ini membuat upaya mitigasi struktural jangka pendek, seperti peninggian jalan dan pompa, selalu kalah cepat.
“Data yang ada menunjukkan bahwa momentum tahunan ini tidak pernah ada perbaikan permanen yang signifikan. Solusi yang dibutuhkan adalah pembangunan sistem kanal holistik, seperti yang sukses diterapkan di Belanda, dengan drainase primer yang memecah aliran air di berbagai elevasi kota sebelum mencapai laut. Namun, karena proyek-proyek besar ini sering terhambat oleh anggaran atau fokus kebijakan yang seremonial, kita perlu alternatif manajemen,” jelas Goes Oedji.
Adaptasi Ekstrem dan Manajemen Risiko Adaptif
Gagasan wisata bencana ini mengadopsi prinsip Adaptasi Ekstrem (Extreme Adaptation) dalam manajemen bencana dan krisis iklim. Daripada menghabiskan sumber daya pada upaya mitigasi yang berulang kali gagal, pendekatan ini mendorong untuk:
* Menginternalisasi Risiko: Menerima banjir sebagai variabel permanen dalam perencanaan kota dan masyarakat.
* Membangun Budaya Kesiapan: Membuat persiapan tahunan menjadi budaya bagi masyarakat dan pemerintah, bukan sekadar program insidental. Hal ini mencakup pelatihan, penyediaan infrastruktur penunjang (perahu dan halte apung), dan standarisasi operasional rumah sakit saat banjir (seperti yang telah RSI Sultan Agung lakukan dengan Tim SADEWA).
“Jika kawasan sepopuler Bali pun mulai mengalami banjir besar di titik-titik wisata yang tidak terantisipasi, dan Venesia telah mengubah acqua alta menjadi identitas yang dikelola, maka Semarang juga harus siap. Kita perlu mengubah paradigma kerugian menjadi manajemen risiko adaptif yang dapat menopang keberlangsungan layanan publik, seperti kesehatan, secara berkelanjutan,” tambahnya.
Melalui gagasan ini, Goes Oedji tidak hanya mengkritik alokasi anggaran yang seremonial, tetapi juga mendorong semua pemangku kepentingan untuk beralih dari fase reaktif ke fase adaptif, di mana keberlanjutan hidup di tengah ancaman bencana menjadi prioritas ilmiah dan operasional tertinggi.***
*)Goes Oedji adalah pengamat lingkungan
