Segini Biaya Stem Cell dan Cuci Darah untuk Pasien Gagal Ginjal, Pilih Yang Mana?
Oleh: Agus Ujianto*)
SEMARANG – nujateng.com – Beban pembiayaan kesehatan akibat Gagal Ginjal Kronis (GGK) di Indonesia, terutama melalui Hemodialisa (HD) yang ditanggung BPJS Kesehatan, mencapai angka yang sangat besar.
Analisis ilmiah mengenai perbandingan biaya antara HD konvensional dan potensi intervensi regeneratif menggunakan Terapi Sel Punca (Stem Cell) Autologus menunjukkan peluang strategis untuk efisiensi biaya negara di masa depan.
Perbandingan Biaya Langsung Tahunan
Jika seorang pasien GGK menjalani Hemodialisa (HD) secara rutin dua kali seminggu, total sesi yang dijalani dalam satu tahun adalah 96 kali (dua kali seminggu ).
Dengan asumsi biaya satu sesi HD mencapai Rp 192.000.000 (di luar biaya medis tambahan dan non-medis seperti transportasi dan ketidaknyamanan serta terapi simptomatis paliatif )
Di sisi lain, Terapi Sel Punca Autologus untuk regenerasi ginjal (melalui injeksi spesifik dalam cathlab) diperkirakan memerlukan biaya sekali tindakan berkisar antara Rp 60.000.000 hingga Rp 100.000.000 pasien lebih nyaman tanpa bolak balik tiap minggu dua kali .
Jika terapi Stem Cell ini dilakukan hanya satu kali dalam setahun dan berhasil memberikan perbaikan fungsi ginjal yang signifikan (meskipun masih dalam tahap riset), secara biaya langsung tahunan, intervensi Stem Cell terlihat secara substansial lebih rendah (Rp 60 – 100 juta) dibandingkan biaya HD (Rp 208 juta).
Selisih biaya ini menunjukkan adanya potensi penghematan tahunan yang besar bagi BPJS Kesehatan jika terapi regeneratif terbukti efektif dibandingkan terapi paliatif Hemodialisa dan tidak menyembuhkan.
Potensi Efisiensi Biaya Jangka Panjang dan Regulasi
Perbedaan mendasar antara kedua terapi ini terletak pada tujuannya. HD adalah terapi paliatif yang menggantikan fungsi ginjal dan harus dilakukan seumur hidup, sehingga menumpuk biaya tahunan yang masif.
Sebaliknya, Stem Cell bertujuan regeneratif/kuratif, menawarkan harapan untuk mengurangi frekuensi HD atau bahkan menghentikannya.
1. Transformasi Biaya: Dari Paliatif ke Regeneratif
Apabila Stem Cell utologus, yang menggunakan sel pasien sendiri untuk memulihkan organ, berhasil meregenerasi fungsi ginjal, maka pembiayaan BPJS Kesehatan akan bergeser dari biaya rutin seumur hidup (Rp 208 juta+ per tahun) menjadi investasi sekali atau berkala pada Stem Cell. Pengurangan atau penghilangan sesi HD akan menghasilkan penghematan biaya negara yang berkelanjutan.
2. Model Kompetensi untuk Efisiensi Negara
Untuk mewujudkan efisiensi ini, integrasi Stem Cell ke dalam BPJS harus didukung oleh regulasi berbasis kompetensi dan sentralisasi tindakan.
* Penyelenggaraan Terbatas di Rumah Sakit Kompeten: Pemerintah (Kemenkes) telah mengatur bahwa pelayanan Sel Punca, terutama untuk aplikasi klinis yang kompleks seperti injeksi ginjal via cathlab, hanya dapat dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan (RSP) atau rumah sakit rujukan yang telah ditetapkan dan memiliki fasilitas Cell Processing Unit (CPU) yang tersertifikasi. Hal ini memastikan keamanan, mutu, dan luaran klinis yang optimal.
* Efisiensi pada Penyakit Regeneratif Luas: Model efisiensi biaya ini tidak hanya berlaku untuk Gagal Ginjal. Prinsip yang sama dapat diterapkan pada penyakit degeneratif lain yang sangat membebani BPJS, seperti Diabetes Melitus (dengan mencegah komplikasi mahal seperti amputasi dan gagal ginjal) dan Stroke (dengan mengurangi durasi dan intensitas rehabilitasi jangka panjang).
Dengan demikian, mengesahkan dan menanggung biaya terapi Stem Cell sebagai Terapi Terstandar di fasilitas kesehatan yang teruji kompetensinya, adalah langkah strategis dan humanis untuk meningkatkan kualitas hidup penderita GGK sekaligus memperkuat keberlanjutan fiskal program Jaminan Kesehatan Nasional.***
*)Agus Ujianto, Direktur RSI Sultan Agung Semarang
