Begini Cara Menjamin Perlindungan Nakes dan Pasien dalam Advanced Therapy
6 mins read

Begini Cara Menjamin Perlindungan Nakes dan Pasien dalam Advanced Therapy

Analisis Komparatif Regulasi Hukum Sel Punca (Stem Cell) Autologus Segar vs Alogenik CPOB di Indonesia

Oleh: ​Agus ujianto*)

nujateng.com – Perkembangan pesat advanced therapy menggunakan sel punca di Indonesia menciptakan dilema regulasi. Terdapat perbedaan signifikan dalam perlakuan hukum antara sel punca autologus (fresh, minim manipulas) yang diaplikasikan langsung sebagai tindakan medis, dengan sel punca alogenik atau yang dimanipulasi intensif menggunakan bahan sintetis yang dikategorikan sebagai produk obat dan harus memenuhi standar CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) BPOM.

Tujuan: Menganalisis perbandingan kerangka hukum di Indonesia, khususnya Permenkes No. 32 Tahun 2018 dan regulasi BPOM, untuk mengidentifikasi implikasi perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (nakes) dan pasien. Selain itu, artikel ini mengkaji peluang adopsi tatalaksana autologus segar dari luar negeri tanpa uji klinis berulang, diiringi jaminan kompetensi klinisi.

Metode: Kajian hukum normatif dengan pendekatan perbandingan regulasi. Hasil: Ditemukan bahwa sel punca alogenik/intensif manipulas memberikan jaminan perlindungan mutu berlapis dari BPOM (sebagai produk), sementara perlindungan pada sel punca autologus segar sangat bergantung pada kepatuhan nakes terhadap Standar Prosedur Operasional (SPO) Fasyankes dan standar kompetensi klinisi. Rekomendasi: Diperlukan harmonisasi regulasi mengenai batas “manipulasi minimal” serta penerbitan

Pedoman Kemenkes untuk mengakui protokol autologus global dengan syarat penguatan kompetensi nakes terlatih di luar negeri.

​Inovasi dalam terapi sel punca (stem cell) menjadi pilar advanced therapy di bidang kedokteran regeneratif. Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), berupaya mengatur tatalaksana sel punca untuk menjamin keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Inti dari tantangan regulasi terletak pada perbedaan ontologis antara:

​Sel Punca Autologus Segar (Fresh Autologous): Sel dari pasien sendiri yang segera diaplikasikan setelah manipulasi minimal (misalnya, harvesting melalui apheresis, SVF liposuction lemak, atau Bone Marrow Aspirate). Prosedur ini cenderung dikategorikan sebagai tindakan medis.

​Sel Punca Alogenik/Intensif Manipulasi: Sel dari donor atau sel yang telah dikultur/diperbanyak menggunakan bahan sintetis. Produk ini diklasifikasikan sebagai Obat Berbasis Sel Manusia dan harus diproduksi sesuai standar CPOB.

​Perbedaan perlakuan regulasi ini sangat krusial, menentukan bentuk perlindungan hukum bagi nakes dan pasien. Selain itu, muncul kebutuhan mendesak untuk merespons adopsi tatalaksana yang sudah matang di luar negeri tanpa birokrasi uji klinis yang panjang.

​2. Kerangka Hukum dan Perbandingan Regulasi


2.1. Standar Regulasi Berdasarkan Jenis Manipulasi

​Permenkes No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan

Pelayanan Sel Punca Dan/Atau Sel menjadi landasan utama, melarang penggunaan sel punca embrionik dan menekankan pada aspek etika serta keamanan. Perbedaan perlakuan hukum muncul dari tingkat manipulasi sel:

​Sel Punca Alogenik/CPOB (Manipulasi Intensif): Apabila sel telah melalui perbanyakan (kultur) atau menggunakan bahan sintetis/media kultur, statusnya berubah menjadi produk obat.

Regulasi BPOM mewajibkan produk ini tunduk pada standar CPOB, memastikan mutu, kemurnian, dan sterilitas produk sebelum aplikasi klinis.

Fasilitas pengolahan harus memiliki sertifikasi dari BPOM, sejalan dengan Permenkes No. 50 Tahun 2012.
​Sel Punca Autologus Segar (Manipulasi Minimal): Prosedur ini sering dianggap sebagai tindakan pelayanan medis yang harus dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang ditetapkan Kemenkes. Perlindungan nakes dan pasien didasarkan pada kepatuhan terhadap SPO internal Fasyankes dan standar profesi. Penilaian mutunya lebih berfokus pada mutu tindakan, bukan mutu produk.

2.2. Celah Regulasi “Manipulasi Minimal”

​Isu hukum utama adalah ambiguitas definisi manipulasi minimal. Jika prosedur autologus segar melibatkan tahapan yang melampaui batasan ini, tetapi dilakukan di luar fasilitas CPOB, nakes dan Fasyankes berisiko melanggar regulasi BPOM tentang produk obat, yang berujung pada potensi sanksi hukum dan malapraktik. Ketiadaan batasan yang sangat jelas antara tindakan medis dan pembuatan produk obat menjadi celah yang harus segera diharmonisasi oleh Kemenkes dan BPOM.

​3. Perlindungan Hukum Nakes dan Pasien

3.1. Perlindungan Tenaga Kesehatan (Nakes)

​Perbedaan regulasi menentukan garis tanggung jawab nakes:

​Prosedur CPOB (Alogenik/Intensif): Nakes yang mengaplikasikan sel (misalnya dengan teknik endovaskuler) dilindungi dari tuntutan terkait kegagalan produk, karena mutu produk menjadi tanggung jawab penuh laboratorium ber-CPOB yang memiliki izin edar/uji klinis BPOM. Nakes hanya bertanggung jawab atas prosedur aplikasi klinis.

​Prosedur Autologus Segar (Minim Manipulasi): Nakes memiliki tanggung jawab hukum yang lebih besar karena seluruh proses, mulai dari harvesting (apheresis, liposuction, BMA) hingga aplikasi, berada di bawah satu atap Fasyankes. Perlindungan hukum nakes bergantung pada ketatnya SPO yang divalidasi Fasyankes, kepatuhan nakes terhadap SPO tersebut, dan pembuktian kompetensi dalam melakukan prosedur harvesting dan aplikasi.

​3.2. Perlindungan Pasien

​Pasien CPOB (Alogenik/Intensif): Mendapatkan jaminan keamanan dan khasiat produk ganda, yaitu dari pengawasan mutu produk oleh BPOM dan pengawasan mutu pelayanan oleh Kemenkes.

​Pasien Autologus Segar (Minim Manipulasi): Jaminan pasien bersifat prosesual, bertumpu pada informed consent yang komprehensif, standar SPO, dan kompetensi nakes. Risiko utama adalah kesalahan prosedural nakes atau kontaminasi di tempat tindakan.

​4. Akselerasi Adopsi Tatalaksana Global dan Kompetensi Klinisi

​Untuk memajukan advanced therapy tanpa mengorbankan keamanan, Indonesia perlu merevisi pendekatan terhadap protokol yang sudah terbukti di dunia internasional.

​4.1. Adopsi Protokol Luar Negeri Tanpa Uji Klinis Berulang

​Kemenkes memiliki peluang untuk mengeluarkan Pedoman Teknis (Juknis) yang secara eksplisit mengakui protokol tatalaksana sel punca autologus segar (minim manipulas) yang telah menjadi Standard of Care di negara-negara maju. Pengakuan ini dapat menjadi pengecualian terhadap kewajiban uji klinis berulang, asalkan:

​Aplikasi Terbatas: Hanya berlaku untuk prosedur autologus segar yang melibatkan manipulasi minimal.
​Jaminan Kompetensi: Penerapan tatalaksana ini hanya dapat dilakukan oleh klinisi yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus di institusi bereputasi di luar negeri, meliputi teknik-teknik pengambilan (apheresis, SVF, BMA) dan aplikasi invasif (termasuk endovaskuler).

​4.2. Implikasi Hukum Jaminan Kompetensi

​Pengakuan Kemenkes terhadap kompetensi klinisi yang terlatih di luar negeri memberikan dasar hukum yang kuat bagi nakes. Nakes yang bersertifikasi internasional dan mematuhi protokol yang diakui dapat membuktikan telah bertindak sesuai Standard of Care tertinggi (iktikad baik), sehingga mengurangi kerentanan terhadap tuntutan malapraktik. Perlindungan pasien meningkat karena terapi inovatif hanya dipegang oleh tangan-tangan yang telah teruji dan tersertifikasi secara global.

​5. Kesimpulan dan Rekomendasi

​Regulasi sel punca di Indonesia secara efektif memisahkan standar ketat CPOB untuk produk alogenik/intensif manipulas dari prosedur autologus segar yang dianggap sebagai tindakan medis. Perbedaan ini krusial dalam mendefinisikan tanggung jawab hukum.

​Rekomendasi Utama:

​Harmonisasi Batasan: Kemenkes dan BPOM harus segera menyepakati dan memublikasikan definisi yang rigid dan evidence-based mengenai manipulasi minimal pada sel punca autologus segar.
​Akselerasi Adopsi dengan Kontrol Kompetensi: Kemenkes perlu menerbitkan regulasi yang membolehkan adopsi protokol autologus segar yang telah menjadi Standard of Care internasional tanpa uji klinis berulang di Indonesia.

​Penguatan Sertifikasi Nakes: Penetapan standar kompetensi yang mengakui dan mensertifikasi khusus nakes yang telah menjalani pelatihan di luar negeri untuk prosedur harvesting (apheresis, liposuction, BMA) dan aplikasi (endovaskuler) adalah kunci untuk menjamin mutu pelayanan dan memberikan perlindungan hukum yang jelas.***

*)​Agus ujiantoadalah praktisi biomedis dan ahli bedah umum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *