Esensi Puasa Ramadhan: Meminimalisir Prilaku Konsumtif

0
4560
credit:Unair News

Oleh:M. Daviq Nuruzzuhal (Santri YPMI Al-Firdaus Kota Semarang)

nujateng.com– Hampir setiap tahun kita pasti mendengar berita tentang harga sembako yang melonjak setiap memasuki bulan Ramadhan. Mulai dari harga cabai, telur, daging dan bahan pokok lainnya. Biasanya harga barang pokok akan semakin melonjak ketika hari lebaran semakin dekat. Peristiwa ini dapat kita temui hampir di berbagai pasar di Indonesia. Di Pasar Bitingan Kudus misalnya, berdasarkan penelusuran Detik.com, harga cabai pada Ramadan tahun 2023 ini mencapai harga 76 ribu yang sebelumnya hanya berkisar 60 ribu. Terjadi kenaikan 16 ribu pada harga cabai. Belum lagi dengan sembako lain seperti telur dan daging.

Fenomena kenaikan harga bisa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah karena konsumsi masyarakat meningkat sehingga permintaan masyarakat pada bulan puasa berkembang secara signifikan. Menurut teori ekonomi, ada yang namanya konsep penawaran dan permintaan. Dalam konteks ini, bila jumlah permintaan barang melebihi jumlah penawaran yang ada, barang akan menjadi langka. Pertumbuhan harga suatu barang itu tegak lurus dengan kelangkaan suatu barang. Jadi, semakin langka suatu barang maka akan semakin mahal harganya. (Sasongko dan Damanik, 2003, pp. 33-44)

Selain itu catatan pengeluaran masyarakat semakin meningkat selama bulan puasa. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia pada saat bulan Ramadan tiba, yaitu berbelanja. Diantaranya yaitu membeli berbagai barang baik bahan makanan atau non makanan untuk kebutuhan selama bulan Ramadhan. Bahkan sudah menjadi budaya kita bahwa bulan puasa adalah bulan untuk bergembira ria sehingga banyak agenda belanja-belanja, meyerbu promo dan banyak perkumpulan yang bisa memberikan dampak terhadap ekonomi keluarga.

Menurut Emha Ainun Najib dalam bukunya (Tuhan pun Berpuasa), pemaknaan puasa yang semacam ini tidak dapat sepenuhnya dapat dibenarkan. Menurutnya, esensi puasa bukanlah berorientasi kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Puasa itu bertujuan agar kita menahan diri dari nafsu dan keinginan-keinginan. Puasa juga mengajarkan agar kita tahu rasanya lapar yang dialami oleh orang-orang tidak mampu dan beristirahat dari keserakahan kita selama satu tahun.

Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Abu Bakr Syatha dalam kitabnya Hasyiah Fathul Mu’in. Ia berpendapat bahwa memakai wawangian saat berpuasa itu hukumnya makruh karena bernuansa  kemewahan. Berikut redaksinya:

“Dan disunnahkan (saat hari Jumat) untuk menggunakan weangian, kecuali bagi orang yang berpuasa menurut qaul awjah kecuali bagi orang yang sedang ihram. Menggunakan wewangian dihukumi makruh bagi orang yang berpuasa dan haram bagi orang yang ihram,”

Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa anggapan puasa adalah ajang untuk bersenang-senang telah memacu pertumbuhan ekonomi. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pertumbuhan ekonomi itu hanya sedikit pengaruhnya terhadap kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi hanyalah soal data tentang pendapatan yang tinggi, bukan statistik tentang kesejahteaan masyarakat. (Sholeh, 2014, p. 207)

Walhasil, puasa sejatinya adalah sebagai ajang pertarungan untuk penyucian diri dari hal-hal yang memberkeruh hati kita. Sehingga filosofi dari lebaran adalah sebagai hari yang ditunggu-tunggu sebagai kemenangan kita melawan hawa nafsu selama sebulan. segala sesuatu yang bertentangan dengan esensi berpuasa tidaklah dapat dibenarkan, karena pemaknaan berbeda tentang puasa mengakibatkan hasil ibadah yang berbeda pula.

Jadi, Melonjaknya harga pada saat Ramadan itu diakibatkan oleh tingkat konsumsi yang besar pada bulan Ramadan. Konsumsi besar pada bulan Ramadan diakibatkan oleh perspektif masyarakat bahwa Ramadan adalah bulan untuk bersenang-senang, bahkan tidak sedikit juga yang menganggap Ramadhan adalah ajang untuk pemuas nafsu belaka setelah setahun merasa terkekang.

Baca: Puasa, Pengendalian Diri dan Kesehatan Mental

Seharusnya pemaknaan puasa dikembalikan pada makna esensinya, yaitu agar membersihkan hati, ajang penyucian diri, agar merasakan penderitaan orang miskin dan lainnya. Meskipun esensi puasa tidak menyuburkan pertumbuhan ekonomi, Toh pertumbuhan ekonomi hanyalah sekedar angka dan kecil pengaruhnya terhadap kemiskinan seseorang. Bahkan boleh jadi akan memperpanjang kesenjangan sosial. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Hal itu bisa terjadi jika kita masih mempertahankan pemahaman puasa seperti saat ini (ajang bersenang-senang).

Memang benar saat lebaran kita disunnahkan untuk memakai pakaian baru, barang barang baru dan sebagainnya sebagai simbol kemenangan kita melawan hawa nafsu. Tetapi apa arti dari sebuah simbol kemenangan jika kita sejatinya tidak memulai perang dengan nafsu saat bulan Puasa. Apakah kita sebenarnya hanya ingin memanjakan nafsu kita dengan berkedok melaksanakan sunnah Nabi.

(Artikel Kolaborasi nujateng.com x justisia.com)