Tradisi Dugderan dan Kebangkitan Ekonomi Masyarakat

0
5112
Credit:Detikcom

Oleh :Ahmad Rakan Syafiq (Alumni Pesantren Al-Ghozali Bogor)

Segenap masyarakat berkumpul penuh suka ria dalam nuansa menyambut bulan Ramadhan. Dibalut dengan semangat keberagaman dalam bingkai persatuan masyarakat tumpah ruah turun ke jalan. Tepat di depan Masjid Kauman masyarakat mulai berkumpul untuk menyaksikan tabuhan gendang yang nantinya akan berbunyi “Dug” dan nantinya akan disambut oleh sautan suara meriam yang berbunyi “Der”. Karena perpaduan bunyi tabuhan gendang dan meriam tersebut kemudian tradisi ini diberi nama “dugderan”.

Dalam sejarahnya Dugderan pertama kali diadakan sekitar tahun 1862 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Tujuan mengapa tradisi ini ada yaitu untuk mengumpulkan masyarakat dalam suasana suka cita untuk bersatu, berbaur, dan bertegur sapa tanpa perbedaan. Selain itu tradisi Dugderan juga bertujuan sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang menyatukan perbedaan secara selaras dan serentak untuk semua paham agama islam berdasarkan kesepakatan Bupati dan Imam Masjid.

Tradisi Dugderan terdiri dari 3 (tiga) agenda besar yaitu pasar (malam) dugder, proses ritual pengumuman awal puasa dan kirab budaya Warak Ngendog. Tiga agenda tersebut merupakan satu kesatuan dalam tradisi Dugderan, dan tradisi ini hingga sekarang masih terus dilestarikan dan dilakukan dengan segala dinamika dan perkembangannya.

Dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “Warak Ngendog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan Warak Ngendog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar etnis budaya sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih inklusif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi.

Warak Ngendog merupakan salah satu unsur utama dari tradisi Dugderan yang ada di Kota Semarang. Keberadaan Warak Ngendog sebagai simbol dalam ritual Dugderan ini mampu bertahan hingga sekarang di tengah dinamika sosial-budaya masyarakat. Secara filosofis Warak Ngendog diartikan sebagai perjuangan masyarakat selama bulan Ramadhan untuk mendapatkan kemuliaan di Hari Raya hal ini yang kemudian menjadi filosofis di dalam pelaksanaan Dugderan.

Namun meski begitu dalam tradisi Dugderan tidak hanya Warak Ngendog yang menjadi ikon. Dalam konteks kekinian masyarakat kerap menunggu pesta tahunan ini yang biasa diadakan sebelum Ramadhan karena pada perayaannya masyarakat akan disuguhkan dengan berbagai macam jajanan rakyat di sepanjang jalan Masjid Kauman Semarang. Terlebih tradisi Dugderan merupakan kekayaan budaya di Kota Semarang yang sarat akan nilai keharmonisan, keberagaman dan suka cita.

Tradisi Dugderan memiliki banyak akulturasi dari khazanah kebudayaan di Indonesia dari mulai tabuh gendang, kirab Warak Ngendog hingga pasar malam dikemas menjadi satu kesatuan yang menarik dalam rangkaian kegiatan Dugderan yang masing-masing dari rentetan kegiatan tersebut memiliki filosofi nilai dan makna yang khas. Dugderan juga dapat dimaknai sebagai perekat tali persaudaraan antar umat beragama.

Transformasi Nilai dalam Upacara Dugderan

Meskipun pada awalnya Dugderan digagas sebagai bentuk kegiatan untuk menentukan permulaan waktu puasa namun sebagai tradisi kebudayaan ia telah mengalami perkembangan nilai dan makna dari yang awalnya sebagai wadah penyelarasan waktu awal Ramadhan kemudian berkembang menjadi sarana pertumbuhan ekonomi dan UMKM rakyat. Hal ini tentu selain perlu dilestarikan juga bisa menjadi tambahan nilai dari suatu budaya itu sendiri bahwasanya ketika satu tradisi kebudayaan itu dilestarikan tidak hanya sekedar menjadi ajang penghormatan tahunan tetapi juga sebagai penguat kedaulatan ekonomi rakyat.

Tradisi Dugderan juga dapat dipahami sebagai ekspresi kegembiraan masyarakat Semarang dalam menyambut bulan suci tiba. Perayaan tahunan ini kian menarik minat masyarakat Semarang dan sekitarnya ditandai dengan makin banyaknya para pedagang yang menawarkan dagangannya beraneka ragam mulai dari minuman, makanan, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling dan gangsing. 

Dugderan tidak lah dapat dikatakan hanya sebagai upacara tahunan yang tidak memiliki dampak signifikan pada sosial-ekonomi masyarakat karena secara empiris maupun filosofis tradisi ini memang akan terus bertambah manfaatnya selama terus ada upaya untuk mempertahankan tradisi ini. Pada tahun ini misal tercatat ada 300 UMKM dan 116 stand jajanan yang tersebar selama rangkaian acara yang artinya tradisi ini selain mampu mempersatukan masyarakat dalam bingkai keharmonisan budaya dapat juga menambah nilai manfaat pada aspek ekonomis.

Hal seperti ini memang seharusnya menjadi ukuran dalam suatu tradisi kebudayaan selain penuh khusyuk dan rasa ta’dzhim pada pelaksaannya di waktu yang bersamaan ia juga harus memberikan nilai dan manfaat untuk manusia dan sekitar. Terlebih setelah tiga tahun absen masyarkat seolah menantikan kembali tradisi Dugderan ini dengan penuh gegap gempita.

(Artikel ini adalah konten kolaberasi nujateng.com X justisia.com)