Reinterpretasi Moderasi Beragama di Era Post Truth

0
1291
reinterpretasi moderasi beragama di era post truth
kredit foto : ltnujabar.com

Oleh: Abdullah Faiz (Redaktur NU Jateng.com)

Saat ini kita hidup di zaman yang berbeda dengan para pendahulu. Zaman yang lebih ekstrim dalam transformasi keilmuan, dahulu ulama atau intelektual adalah sumber ilmu yang paling inti dan menjadi rujukan semua orang. Meskipun tradisi keilmuan tersebut masih ada sampai sekarang namun dengan berkembangnya teknologi ada sedikit pergeseran yang dapat merubah cara pandang orang-orang awam. Sebut saja era post truth, masa dimana fakta sudah menjadi sia-sia, artinya kebenaran sudah menjadi semu, sementara transfer keilmuan kian meredup, sehingga orang yang bukan ahlinya dapat berbicara secara bebas dan menjadi rujukan alternatif bagi masyarakat umum.(Huda & Irama, 2021)

Informasi dan reproduksi yang terus diulang oleh media sosial secara tidak langsung dapat melegitimasi orisinalitas non-fakta yang disampaikan oleh orang yang bukan ahli dalam bidangnya. Berawal dari sini fakta-fakta alternatif menggantikan fakta-fakta aktual dan perasaan lebih dianggap penting dari pada bukti. Facts are futile fakta sia sia, gambaran singkat dari zaman post truth.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa era post truth sangat berkaitkelindan dengan kemajuan teknologi informasi khususnya media sosial (medsos). Post truth dalam satu sisi menciptakan sebuah kebenaran palsu atau semu, sedangkan kemajuan teknologi informasi khususnya internet dalam sisi yang lain menciptakan budaya instan dan egaliter, tidak adanya filter yang dapat menentukan siapa orang yang layak membuat informasi, edukasi dan konten lain yang menjamur di internet dan media sosial menjadi problem yang sangat serius. Apalagi ketika membahas soal konten yang isinya tentang keagamaan (cara beragama seseorang), mulai dari cara pandang terhadap agama hingga penerapannya dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara kolektif (sosial).

Munculnya ustadz dadakan atau  para pendakwah yang konservatif di atas mimbar-mimbar pengajian adalah hasil reproduksi dari era post truth. Mengapa tidak.? Apabila kita telisik lebih dalam ajaran yang mereka sampaikan terkesan menjauhkan dari makna Islam yang sesungguhnya. Orang pesantren mengenal Islam sebagai pusat peradaban dan keilmuan sehingga laku yang muncul adalah kedamaian, kesejukan dan moderat. Sementara yang kita saksikan dari para pendakwah saat ini adalah kemarahan, kebencian dan permusuhan.

Dalam bab ini kita perlu menerapkan konsep moderasi beragama di era post truth. Sudah banyak para peneliti yang membahas soal moderasi beragama namun kebanyakan berhenti dalam teori saja. Soal urusan praktik cenderung ditinggalkan karena dinilai sangat berat untuk dijalankan. Namun perlu diketahui saat ini moderasi beragama menemui paradigma baru yang perlu diselesaikan. Pergeseran ini dapat dikatakan juga dengan fenomena pasca kebenaran, orang-orang seringnya tidak mencari kebenaran tapi berusaha untuk terhubung dengan mereka. Semuanya akan disesuaikan dengan keyakinan dan perasaan, bahkan jika itu salah.

Dalam istilah lain fenomena seperti ini bisa disebut dengan simulakra, artinya keadaan dimana sebuah kebenaran yang asli sudah direduksi dan diambil alih oleh kebenaran yang bersifat fiktif, retoris dan palsu. Apabila diterapkan dalam keagamaan akan beresiko pada aksi sosial yang buruk. Jalan tengah untuk membendung efek dari virus post truth adalah penguatan dalam praktek beragama secara moderat. Menanamkan kembali buah-buah keagaman yang damai, sejuk dan saling menghargai sesama.

Moderasi  beragama dalam Islam mempunya konotasi sebagai nilai-nilai keislaman yang dibangun denga latar belakang pola pikir yang lurus dan pertengahan serta berorientasi pada prinsip santun dalam bersikap, dalam geraknya selalu mengedepankan sikap harmonis terhadap masyarakat sehingga memunculkan sikap perdamaian dan anti kekerasan dalam berdakwah.(Eka Prasetiawati, 2017). Tentu saja dalam mengaplikasian konsep keagaman seperti ini membutuhkan waktu panjang dan loyalitas yang tinggi. Selain itu juga diperlukan konsistensi pesantren dan santri dalam mengawal terlaksananya konsep ini. Sebab hanya pesantrena dan santri yang memiliki semangat tersebut.

Pemilik karya fenomenal Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali berpendapat dinamika kehidupan yang ideal untuk mengaktualisasikan ajaran Islam yang menenangkan dan mendamaikan adalah dengan jalan tengah, seimbang, adil dan proporsional antara dunia dan akhirat. Meskipun Imam Ghazali populer dengan pandangan tasawwufnya namun ia tetap mengakui manhaj hidup yang sempurna dan sesuai dengan hakikat ajaran Islam dan kehidupan yang dilakukan oleh ulama salafuna shalih adalah arah moderat.(Arif, 2020) Argumen ini tentu saja didapatkan setelah melalui perjalanan panjang dalam pengembaraan ilmu dan berinteraksi dengan lapisan masyarakat yang sangat banyak.

Pendapat Imam Ghazali tersebut dapat menjadi pijakan untuk menangani virus post truth yang kerap kali terjadi di tengah masyarakat. Praktik moderasi beragama dalam Islam di era post truth setidaknya dapat menerapkan teori yang diusulkan oleh Abid al-Jabiri tentang Irfani, Bayani dan Burhani. Ketiga jalan yang ditawarkan Abid akan menopang bebrapa persfektif yang dapat melemahkan kebenaran yang semu (efek post-truth). Sementara menerapkan salah satu saja dari ketiga tersebut juga akan rentan terjebak dalam kelemahan informasi.

Islam moderat tidak hanya condong pada pintu metodologis saja dalam memperoleh kebenaran melainkan juga pada perspektif sosiologis masyarakat. Oleh karenanya tidak rentan terjebak pada kebenaran yang palsu (semu). Selain itu, apabila terlalu dekat dengan irfani maka akan terjebak pada sikap mistisme hanya percaya dengan suatu yang mistis yang bersifat intuisi. Efek buruknya akan menafikan unsur penafsiran teks/nas kitab suci serta menjauhkan dari rasio.

Sementara jika terlalu dominan dengan bayani saja maka akan melahirkan pemikiran yang ortodoks dan radikal, sebab hanya berpedoman pada kebenaran tekstual saja tanpa menghiraukan unsur intuisi dan logika. Begitupun jika terlalu gandrung dengan burhani maka efeknya akan terjebak dalam rasionalitas dan empirisme tanpa mempedulikan unsur pemaknaan nas-nas teks kitab suci dan intuisi.(Primayana & Dewi, 2021)

Dari ketiga epistemologi yang ditawarkan oleh Abid al-Jabiri ini, memiliki dampak yang positif dan negatif. Masing-masing harus saling melengkapi dan dijalankan secara bersamaan. Tentu saja teori tersebut sangat efektif untuk dijadikan sebagai penawar untuk melawan virus post-truth.(Huda & Irama, 2021) Wallahu A’lam