Layangan Putus Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan

0
12031
Layangan Putus Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan
Layangan Putus Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan

Oleh: Nur Rofia (Founder Ngaji KGI)

“Aku ini kerja buat kamu & Raya!”, teriak Mas Aris.
“Ok, kamu kerja buat aku & Raya. Fine. Thank you, tapi..kamu yakin bekerja hanya untuk aku dan Raya?”, gugat Kinan.

Menyaksikan serial film Layangan Putus itu ngeri2 gak sedap!. Walau bikin gemes tapi bagian menariknya buatku adalah bgmn Kinan berjuang menjaga nalarnya utk tetap jd manusia dan dimanusiakan. Ucapannya di atas adalah cerminan dari pergulatan yang tentunya tidak mudah ini.

Di serial film ini kita diajak menyaksikan bagaimana pengalaman biologis dan kerentanan sosial khas perempuan terjadi sekaligus. Wahnan ala wahnin lahir dan batin secara komplit yang dialami mbak Kinan.

Kondisi hamil, melahirkan, nifas dan menyusui adalah pengalaman yang disebut al-Qur’an sebagai kurhan (melelahkan) bahkan wahnan ala wahnin (sakit berlipat-lipat/berturut-turut/berkali-kali). Kondisi seperti ini bisa tetap dialami perempuan meski saat suaminya siaga 1 sehingga 24 jam siap membantunya.

Sementara mengalami stigmatisasi, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan dalam kondisi tidak hamil atau secara fisik sehat wal afiyat saja sudah bisa membuat perempuan sangat terpuruk dan memerlukan dukungan kuat untuk bangkit.

Apa yang dialami oleh mbak Kinan dalam Layangan Putus adalah dua pengalaman biologis khas perempuan yang beragam itu, plus bentuk ketidakadilan sosial pada perempuan hanya karena menjadi perempuan yang juga beragam itu, terjadi bersamaan mak blek!!!

Kehamilan yang panjang tersebut diwarnai dengan sakit wahnan ala wahnin (bertubi-tubi/berlipat-lipat/terus menerus) secara fisik plus batin, hingga pasca melahirkan yang berakhir dengan tidak tertolongnya nyawa bayi.

Film serial Layangan Putus diinspirasikan oleh kisah nyata yang awalnya adalah status FB. Lalu jadi novel sebelum jadi film dengan beberapa perubahan. Misalnya di novel tokoh utamanya punya 4 anak laki-laki dan suami poligami. Sementara di film punya 1 anak perempuan dan suami selingkuh.

Dulu, zaman daya jangkau penglihatan/ dunia nyata sangat terbatas, aku sering banget mbatin saat nonton film yang kejahatannya berlebihan “halah fiktif, maklum film.” Di era medsos ini, jangkauan penglihatan kita atas dunia nyata meluas tak terbatas. Seperti kisah tentang Layangan Putus ini.

Ketika menjadi curhatan di status FB, kisah nyata ini ditulis saat kejadiannya berlangsung. Status ini terus bersambung sehingga oembaca seperti diajak menyaksikan langsung peristiwa nyata dalam perspektif penulis yang sedang mengalaminya.

Ternyata, kejadian-kejadian yang dulu terasa fiktif bisa terjadi dalam dunia nyata. Kini mungkin lebih sering mbatin, “drama banget” atas peritiwa non fiktif/ nyata yang terjadi.

Pertanyaan menggelitiknya adalah bagaimana ya memahami kompleksitas peristiwa ini? Apa dimensi kemanusiaan tokoh-tokoh kunci yang sedang hilang atau dihilangkan oleh pihak lain? Bagaimana Islam memberi tuntunan yang bisa kita pegang erat-erat dalam berproses menjalani pernikahan sebagai Muslim/ Muslimah?

Perkawinan yang terjadi di masyarakat, termasuk perkawinan yang masing-masing kita sedang jalani, sangatlah beragam dan dinamis. Begitupun tafsir atas ajaran Islam tentang perkawinan  juga sangat beragam dan dinamis.

Sesuatu yang dinamis mestinya tidak bersandar pada yang dinamis juga. Karenanya, keduanya mesti bersandar pada prinsip dan nilai dasar kemaslahatan umum yang menjiwai keseluruhan teks-teks keislaman.

Dinamika perkawinan dan tafsir keislaman tentangnya dengan demikian mesti disandarkan pada kemaslahatan suami sekaligus istri dalam perkawinan, maupun orang tua, anak, dan saudara dalam keluarga.

Hidup, tmsk kehidupan perkawinan, adalah proses panjang. Begitupun berislam. Betapa pentingnya memahami cita-cita Islam dalam perkawinan, dan bagaimana memproses kehidupan perkawinan nyata yang kita hadapi agar bergerak menuju cita-cita tersebut berdasarkan landasan moral yang menjiwainya.

Kita hanya dituntut untuk menjadi versi diri yang terbaik dalam setiap situasi dan standar terbaik kita bukanlah orang lain melainkan diri sendiri dengan segenap karunia dan ujian masing-masing.

Sejatinya, tidak ada 2 pasang suami-istri yg sama persis lahir-batin dalam segala hal. Karenanya, keputusan terbaik bagi pasangan suami istri, belum tentu terbaik bg suami-istri yang lain. Bahkan apa yang disebut terbaik dalam kondisi tertentu bisa jadi adalah terburuk dalam kondisi umum.

Terbaik itu bisa beragam kondisi:

1. Lebih baik & terbaik: pilih terbaik
2. Baik & lebih baik, pilih lebih baik
3. Baik & baik, pilih terbaik
4. Baik & buruk, pilih baik;
5. Buruk & buruk, pilih lebih baik
6. Buruk & lebih buruk, pilih buruk 7 lebih buruk & terburuk, pilih lebih buruk

Kelompok lemah (dluafa) dan rentan dilemahkan (mustadl’afin) kerap hanya dihadapkan pada pilihan-pilihan buruk atau sama-sama tidak enak. Begitu pun perempuan. Mengenali berbagai kemungkinan yang dimiliki menjadi penting.

Semua ini memerlukan ketajaman nalar. Apalagi hubungan toksik penuh dengan tindakan dan logika manipulatif. Perempuan korhan sering justru disudutkan sebagai pihak yang salah. Sebaliknya pelaku kezaliman malah playing victim.