Sepenggal Kisah KH. Humaidullah Irfan Kaliwungu

0
5293
Sepenggal Kisah KH. Humaidullah Irfan Kaliwungu (Foto: Ponpes Apik Kaliwungu)

Oleh: Abdullah Faiz (Redaktur NU Jateng.com)

nujateng.com Almaghfurlah KH. Humaidullah Kaliwungu yang akrab disapa dengan Mbah Humaid adalah seorang ulama yang alim khususnya dalam bidang ilmu Nahwu, Shorof dan Fiqih. Ia merupakan pengasuh ketiga Pesantren Salaf Apik Kaliwungu meneruskan perjuangan ayahnya. Mbah Humaid merupakan putra sulung dari pernikahan KH.Irfan bin Kiai Musa dengan Nyai Sufirah binti Imron.

Almarhum menjalankan amanat untuk meneruskan mengasuh para santri dari kakak sepupunya yaitu KH. Ahmad Ru’yat Kaliwungu. Semasa hidupnya, usia Mbah Humaid dihabiskan untuk mencari ilmu ke berbagai daerah. Bahkan ketika sudah sepuh pun ia masih sempat meninggalkan kampung halamanya untuk mengaji kepada kiai tertentu. Kisah ini disampaikan oleh putra beliau KH. Sholahuddin Humaidullah dalam acara haul Almarhum Mbah Humaid di aula Al-Muzakka Pesantren Salaf Apik Kaliwungu.

“Sudah sepuh masih mencari guru buat sandaran ilmu sampe akhirnya sebelum wafat ia pernah pesan untuk di doakan sebagai santrinya Mbah Abdul Karim Lirboyo, Mbah Dimyati Termas, Mbah Abdullah faqih Banyuwangi dan Mbah Irfan Kaliwungu,” kata Abah Sholah.

Semangat dalam mencari ilmu

Semangat belajar Mbah Humaid sudah tumbuh sejak kecil. Sebelum ia mengaji ke kiai-kiai luar Kaliwungu, ia terlebih dahulu mengaji kepada ayahnya kemudian mengaji Al-Qur’an kepada Kiai Ahmad Badawi Kaliwungu dan mengaji kitab kuning kepada Kiai Abdul Aziz Kaliwungu. Setelah Mbah Humaid berusia 18 tahun ayahnya yakni KH. Irfan bin Musa wafat. Pada usia yang relatif muda ini Mbah Humaid menjalani kehidupan tanpa ditemani sang ayah, namun tidak membuat Mbah Humaid putus asa. Ia semakin memiliki ghiroh untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.

“Semasa kecil Mbah Humaid mengaji kepada kiai yang masih kerabat seperti mengaji Al-Quran kepada Kiai Ahmad Badawi dan kitab kuning  kepada Kiai Abdul Aziz. Pada waktu ayahnya wafat beliau masih berumur 18 tahun dan adiknya yang paling kecil (Nyai Ibadiyyah) masih berumur satu tahun,” terang pengasuh ke 5 pesantren Apik tersebut.

Menurut penjelasan Kiai Sholahuddin dua tahun setelah kepergian sang ayah, Mbah Humaid pamit dari Kaliwungu untuk menimba ilmu di pesantren Kasingan Rembang untuk mendalami ilmu Nahwu dan Shorof kepada Kiai Kholil Harun. Kiai Sholahuddin juga menjelaskan ketika Mbah Humaid belajar di Kasingan ia bertemu dengan Mbah Mahrus Ali, Mbah Bishri Musthafa dan kiai-kiai lainya. Artinya perjalanan keilmuan Mbah Humaid masih satu kurun dan bertemu dalam satu guru bersama Mbah Mahrus dan Mbah Bishri.

Setelah merasa cukup mengaji di Kasingan Mbah Humaid pergi ke Termas Pacitan untuk mengobati dahaga keilmuanya. Ia mengaji kepada KH. Dimyathi selama kurang lebih dua tahun. Kiai Sholahudin juga menjelaskan waktu beliau mengaji di Termas bertemu dengan Kiai Ali Makshum Krapyak, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Zarkasyi Gontor dan kiai-kiai lainya.

“Setelah abahnya wafat beliau mondok di pesantren Kasingan Rembang selama kurang lebih 4 tahun di pesantren tersebut beliau satu kurun dengan Kiai Mahrus Ali, Kiai Bishri Musthafa. Kemudian pindah ke Termas Pacitan mengaji kepada Kiai Dimyati selama kurang lebih 2 tahun di pesantren ini beliau satu kurun dengan Kiai Ali Makshum Krapyak, Kiai Zarkasyi Gontor dan Kiai Abdul Hamid Pasuruan,” jelas putra Mbah Humaidullah.

Pengembaraan ilmu Mbah Irfan tidak hanya berhenti di Termas, setelah ia mengaji kepada Kiai Dimyathi kemudia pergi ke timur lagi tepatnya ke Pesantren Cemoro Banyuwangi yang pada waktu itu diasuh oleh KH. Abdullah Faqih selama tiga tahun. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Lirboyo Kediri ia mendalami ilmunya bersama Kiai Abdul Karim.

Menurut cerita Kiai Sholahuddin Kiai Abdul Karim adalah kerabatnya Kiai Abdullah Faqih Banyuwangi waktu mengaji kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Selang beberapa waktu Kiai Abdul Karim mengetahui identitas Mbah Humaid yang mana ia adalah putra dari Kiai Irfan Kaliwungu yang namanya sudah dikenal di kalangan pesantren-pesantren di Jawa, akhirnya Mbah Humaid ditunjuk untuk ikut mengajar. Pada waktu itu pula Mbah Humaid mengirimkan surat ke Kaliwungu untuk kedua adiknya Kiai Ubaidullah Irfan dan Kiai Ibadullah Irfan untuk ikut mengaji di Lirboyo.

“Setelah di Lirboyo beberapa tahun Mbah karim tau ada putra Mbah Irfan disini. Kemudian dia di angkat jadi guru ngaji Al-Quran,” terang Abah Sholah

Setelah sekitar lima tahun di Lirboyo kemudian Mbah Humaid kembali ke Kaliwungu tidak lama kemudian ia menikah. Setalah menikah pun Mbah Humaid masih pulang pergi dari Kaliwungu untuk mencari sanad dan guru. Sampai sudah memiliki anak pertama ia masih pergi ke Magelang untuk ikut ngaji tabarrukan kepada Kiai Dalhar. Namun setelah itu ia diminta kakak sepupunya yakni Kiai Ahmad Rukyat untuk membantu ikut mengajar para santri di Pesantren Salaf Apik.

Kegigihan Mbah Humaid dalam mencari guru sangatlah kuat, bahkan sampai usia senja ia masih ingin menyambungkan ilmunya dengan ulama-ulama yang alim. Menurut Kiai Sholahuddin upaya tersebut adalah untuk menghormati ilmu dan menyandarkan ilmu dengan para ahlinya.

“Sampai sudah punya anak masih mencari guru buat sandaran ilmu sampe akhirnya sebelum wafat,” ungkap kiai asal Kaliwungu itu.

Amalan Istiqamah KH. Humaidullah Irfan

Sebagai mana para kiai pada umumnya selalu memiliki amaliyah yang selalu dijalankan secara kontinyu sampai akhir hayatnya. Kiai Humaidullah Irfan dikenal sebagai kiai yang disiplin dan tegas dalam mengajar para santrinya. Dimasa hidupnya ia tidak pernah meninggalkan shalat maktubah berjamaah meskipun usia semakin menua ia tetap menjalankan rutinitasnya. Prinsipnya selama masih bisa berjalan menuju masjid ia akan terus melakukan amalan yang ditekuninya. Diceritakan bahwa dikondisi kurang sehatpun ia tetap berjamaah dibantu oleh santinya menuju masjid.

Selain itu ketika di Lirboyo ia diijazahi oleh gurunya untuk melanggengkan berwudhu. Istilah ini biasanya dikenal oleh para santri dengan Dzawamul wudhu . Ijazah ini dilakukan untuk menjaga kesucian diri dari hadas kecil maupun besar. Praktik pelaksanaanya sangat simpel yaitu dengan berwudhu terus meskipun tidak untuk shalat. Mbah Humaid menjalankan dzawamul wudhu sampai akhir hayatnya.

“Sholat lima waktu sampai beliau sakit masih berjamaah dan melanggengkan wudhu sampai sepuh,” terang Abah Sholah.