Oleh: Lek Basyid Tralala (Pengurus Harian MWC NU Kaliwungu Selatan)
Ulama merupakan penerus para nabi. Ulama bagi para santri merupakan pusat ilmu dan referensi. Ulama bagi masyarakat laksana telaga di musim kemarau. Ulama merupakan guru bagi masyarakat yang rindu akan suasana tenang dan damai. Ulama juga merupakan penerang dalam langkah menuju keselamatan dunia akhirat.
Sepak terjang ulama bagi bangsa ini tidak diragukan lagi. Kiprah mereka ada yang terekam jejaknya ada pula tertelan oleh jaman. Meminjam istilah Gus Baha, sudah saatnya kiprah lama itu ulama difiqihkan. Harapannya perilaku baik tersebut dapat menjadi motivasi dan referensi di kemudian hari. Disamping itu, dengan memfiqihkan peran ulama diharapkan dapat menyaingi cerita dari orang – orang secara keilmuan masih diragukan.
Salah satu contoh peran ulama yang tidak terdokumentasi dalam sejarah yakni peristiwa pertemuan ulama besar tanah Jawa di Alas Roban Batang. Pada kesempatan waktu KH. Dimyati Rois ulama khos yang di tinggal di Kaliwungu – Kendal yang setiap Kamis Malam jumat Kliwon menyelenggerakan istighasah menuturkan jika masa pendudukan Belanda sekitar akhir tahun 1800-an terjadi pertemuan ulama besar di tanah Jawa ini yakni KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Nawawi (Banten), KH. Shalih, KH. Anwar (Batang) dan KH Abdul Karim (Kaliwungu–Kendal).
Adapun kisah pertemuanya menurut KH. Dimyati Rois sekitar tahun 1895 M, lima kiai sepuh bersepakat bertemu di tengah-tengah Pulau Jawa. Pertemuan ini dirasa mendesak untuk segera dilakukan. Pasalnya, kondisi masyarakat di bumi Nusantara sudah sedemikian menderita, lelah, dan terpecah akibat tekanan penjajah selama kurun tiga ratus tahun.
Dipilihnya Alas Roban sebagai lokasi pertemuan karena lokasinya berada di tengah-tengah tanah Jawa. Ditambah lagi, kondisi daerah tersebut merupakan kawasan rimba raya sehingga jauh pantuan Hindia Belanda. Selain itu diplihnya tempat tersebut juga untuk mengaburkan intaian mata- mata Belanda yang selalu memantau pergerakan para tokoh tersebut. Tetapi harapan tersebut meleset terbukti mata-mata pun Belanda masih berhasil mengendusnya.
Alas Roban terletak di jalur lingkar Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Berada di jalur utama Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, jalan di Alas Roban curam dan berkelok. Hingga saat ini di kanan-kirinya terdapat pepohonan yang tinggi dan lebat.
Pada hari yang telah ditentukan, dari daerah Banten Kiai Haji Nawawi bergerak ke arah timur. Kiai Haji Khalil bertolak dari Pulau Madura menuju ke barat. Begitu pula Kiai Haji Shalih mendekat ke barat. Sementara di titik yang dituju, di Alas Roban, sudah menunggu Kiai Haji Anwar dan Kiai Haji Abdul Karim.
Sejak awal Kiai Anwar didaulat sebagai tuan rumah, karena asli orang Batang, Jawa Tengah. Sementara Kiai Abdul Karim yang bertempat tinggal di Kaliwungu-Kendal, Jawa Tengah datang lebih awal karena jarak tempuh Kaliwungu – Kendal ke Batang relatif dekat dibanding Banten dan Madura.
Singkat cerita, kelima kiai ini akhirnya bertemu di Alas Roban. Mereka bermusyawarah, mencari solusi bagaimana agar rakyat Indonesia dapat terbebas dari penderitaan yang selama ini menimpanya. Akhirnya disepakati, agar para kiai mengajarkan kepada para santri tentang kedaulatan berfikir dan kesanggupan untuk berjuang melawan kezaliman penjajah saat itu.
Di akhir pertemuan, mereka bersama para santri berdoa, memohon kepada Tuhan agar diberikan jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Dari kejauhan, doa-doa yang dilantunkan para kiai dan santri itu terdengar bergemuruh. Akibat para telik sandi Belanda akhirnya bisa menemukan keberadaan mereka. Sumber suara dilacak hingga ditemukan lokasi tersebut. Namun, ketika sudah semakin dekat, telik sandi menjadi bingung, karena hanya mendapatkan orang-orang yang duduk bersama menghadap ke arah barat sambil bersuara ha-hu, ha-hu, ha-hu, ha-hu.
Rupanya, saat itu doa-doa yang sedang dilafalkan (dibaca) adalah surah Al-Ikhlas. Karena tidak mengenali bacaannya, telinga si telik sandi tadi hanya menangkap suara ha-hu, ha-hu, ha-hu, ha-hu. Akhirnya, telik sandi berkesimpulan tidak melihat tanda-tanda adanya pasukan atau perkumpulan orang yang mau merencanakan perlawanan.
Kelak, lima hingga enam puluh tahunan kemudian (1945), doa kiai-kiai yang juga menjadi doa dari seluruh rakyat Indonesia ini terwujud. Bangsa Indonesia merdeka.
Perlu diketahui bahwa kelima kiai tersebut memiliki kesamaan frekwensi dan ikatan emosi antara yang satu dengan lainnya. Dalam tradisi keilmuan, semuanya lahir dan besar dalam pendidikan keislaman pesantren. Bahkan kota suci Mekkah menjadi pelabuhan terakhir perjalanan intelektual mereka. Di kota kelahiran Nabi itu mereka menetap dalam waktu yang cukup lama. Bahkan salah satu diantaranya yakni Kiai Nawawi—Banten menetap di Mekkah hingga akhir hayat.
Intelektual Pada Masanya
Sebagai intelektual Muslim yang mengagungkan sistem transmisi keilmuan atau ketersambungan antara pengajar dan murid yang bermuara pada Nabi Muhammad, bisa dipastikan mereka berkerabat. Artinya, sangat dimungkinkan jika mereka murid dari satu tokoh, atau cucu murid dari tokoh yang sama atau kemungkinan lain, salah satu dari mereka adalah guru atau murid dari lainnya.
Dan, memang benar dan terbukti. Jika tiga dari lima ulama itu menjadi guru dari mahaguru kiai-kiai pondok pesantren di Pulau Jawa, yaitu Kiai Haji Hasyim Asy’ari Jombang. Ketiga kiai itu tidak lain adalah Syekh Nawawi (Banten), Kiai Khalil Bangkalan (Madura), dan Kiai Shalih Darat (Semarang).
Dari kisah dapat ditarik benang merah dengan kondisi sekarang ini yakni begitu besar dan tulus rasa cinta para ulama terhadap bangsanya. Mereka tidak sekedar memberikan contoh kepada kaum muda, tetapi bagaimana menjadi pribadi yang berdaulat dalam berfikir dan bersikap. Lebih dari itu, para ulama juga mengupayakan lahirnya perubahan secara spiritual dalam melaksanakan perjuangan sebagai implementasi kedekatan dengan Sang Ilahi.
Maka, tidaklah berlebihan jika ada sekelompok orang yang berusaha mengganggu keutuhan NKRI, kaum santri tampil ke muka. Baik secara personal maupun melalui wadah organisasi sosial kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU). Sikap Nahdliyin yang demikian bukan bentuk pencitraan atau nasionalisme semu, tetapi, memang sebuah komitmen untuk menjaga kedaulatan bangsa ini.
Ingat wahai kaum melinial bangsa ini, “…Jauh sebelum Indonesia merdeka, di bumi Nusantara sudah ada orang-orang yang hebat yang memiliki kecerdasan, kedigdayaan dan juga keunggulan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Namun, kaum penjajah juga jauh lebih cerdik dalam memecah-belah elemen yang dimiliki bangsa ini,” jelas Mbah Dim.
Semoga dari cerita di atas dapat menjadi litersi anak muda dalam menjaga kedaulatan bangsa dari orang–orang ingkar akan perjuangan para ulama dan kiai.