Oleh : Luthi (Mahasiswa dan penulis di justisia.com)
Sejarah mencatat, tidak sedikit tokoh pendakwah Islam di Nusantara berkembang dan mencapai masa kejayaannya pasca periode Walisongo. Justru menjadi penyempurna dan pamungkas kiprah dan perjuangan tokoh sebelumnya. Kendati demikian, moral patriotisme, semangat perjuangan dan pembebasan, serta ekspansi keilmuan harus selalu dilestarikan.
Di antaranya, lahir lah ulama-ulama lokal yang kemudian dikenal secara mondial, yakni Syaikh Muhammad Yusuf al-Makassari, Syaikh Abdu as-Shamad al-Palimbani, Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, Syaikh Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Arsyad al-Banjari. Tidak ubahnya juga memberikan andil dan peran dalam mengubah kultur dan tatanan kehidupan pribumi Nusantara juga menghasilkan karya yang begitu banyaknya.
Tokoh penyebar dan pendakwah ajaran Islam di Kalimantan adalah Syaikh Arsyad al-Banjari. Jejak emas dan khazanah pemikiran yang beliau tinggalkan, hingga sekarang menjadi teladan dan inspirasi untuk membangun masyarakat. Wajar dan tidak berlebihan, jika popularitas al-Banjari tidak hanya dikenal di bumi Kalimantan atau tanah melayu, akan tetapi juga di Asia Tenggara.
Pemikiran Fiqh Kearifan Lokal
Fokus kajian dan pemikiran al-Banjari dalam bidang keagamaan adalah masalah syari’ah. Bicara masalah syari’ah—tidak hanya sebatas hukum tertulis, diamini dengan mengerjakannya dan dikenakan sanksi bagi yang melanggarnya—pemaknaannya diupayakan selebar mungkin dengan pendekatan beyond the text ataukontekstual. Dalam kaitannya, ‘fikih’ lah yang menjadi medium analisis berkat singgungannya yang sensitif dengan realita sosial.
Begitu juga dengan pemikiran al-Banjari di bidang fikih, tidaklah muncul begitu saja. Banyak peristiwa penting dan alasan strategis yang melatari kemunculannya, khususnya berkaitan dengan kepentingan masyarakat Banjar waktu itu.
Isu-isu strategis tersebut, tidak lain karena latar belakang kondisi sosio kultur masyarakat Banjar itu sendiri, yang bersinggungan dengan pokok-pokok hukum Islam. Jika hukum Islam tidak menyeseuaikan dengan sosial kultur masyarakat maka hukum Islam akan stagnan. (Ahmad Afdoli, 2018: 2)
Banyak sub kajian yang diulas secara gamblang dan dibukukan dalam karyanya, Sabilul Muhatadin, hanya saja ada beberapa spot pembahasan yang menarik perhatian dan penulis mencoba menghantarkan ke dalam mengenali, mempelajari dan memahami pemikiran dan kiprah al-Banjari mengkonstruksi ajaran agama disesuaikan kondisi masyarakat sebenarnya.
Al-Banjari menjadikan maqashid syari’ah sebagai pijakan dan patron dalam menentukan arah kebijakan dan perlakuan yang pada akhirnya ditujukan untuk merespon kebutuhan masyarakat (Banjar) pada waktu itu.
Karena mengingat maqashid syari’ah sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, moral dan tujuan luhur. Selebihnya, implikasi itu dapat diterapkan untuk menimbang suatu keputusan, “apakah ini mafsadah atau maslahah” bagi keberlangsungan umat manusia.
Interaksi ajaran agama dengan nuansa budaya mengakibatkan al-Banjari merumuskan produk pemikiran dan peran yang, oleh banyak pemerhati intelektual Islam, disebut dengan ‘pemikiran fikih kearifan lokal.’ Buah hasil kontribusi dan andilnya masih dilanggengkan dan dapat dirasakan oleh umat muslim di Indonesia, seperti teori gono-gini, teori zakat produktif atau tarekat Sammaniyah yang kaitannya dengan tasawwuf.
Revolusi Pangan Lewat Zakat Produktif dan Ihya’ al-Mawat
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, ‘pulang kapung’, kemudian mendirikan lembaga pendidikan pesantren untuk mencetak kader dakwah, yang dikenal dengan Kampung Dalam Pagar. Pada masyarakat sekitar pesantren, beliau melihat kondisi sosial masyarakat yang memprihatinkan. Lalu beliau mencetuskan teori Ihya’ al-Mawat.
Ihya’ al-Mawat adalah gerakan pemberdayaan masyarakat dengan menghidupkan kembali lahan pertanian yang kosong, mati dan tidak produktif. Wilayah Banjar (pada saat itu) terdapat banyak lahan rawa dengan air yang dalam, sehingga petani membiarkan lahan tersebut menjadi lahan terlantar.
Dengan karomahnya, ia membuat sungai dengan menyeret tongkat dari hulu ke hilir supaya surutnya air rawa, petani bisa membuat tongkonan untuk keperluan tanam.
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, mengamati gerakan Ihya’ al-Mawat. Kehidupan petani, terbelah menjadi dua. Ada yang kaya, dan ada yang miskin. Secara umum, keluarga petani yang miskin, mereka kekurangan sumber daya. Mereka tidak memiliki lahan pertanian maupun tidak mempunyai keterampilan bertani. Disisi lain, keluarga petani yang kaya, juga tidak bisa memecahkan persoalan tersebut.
Oleh karena itu, al-Banjari berijtihad, yang hasil ijihadnya di bidang fikih berbeda dengan fikih Timur Tengah. Berasal dari gerakan Ihya’ al-Mawat, muncullah gerakan teori zakat produktif sebagai jalan tengah atas dilema problematika yang sudah lama melanda sekaligus penyempurna teori sebelumnya.
Dalam masalah zakat, umat muslim Indonesia lumrahnya mengetahui bahwa hak zakat yang sudah terkumpul dari orang dengan harta lebih disalurkan kepada golongan musatahiq kategori mustadh’afin; fakir, miskin, amil, muallaf, riqob, ghorim, mujahid fi sabilllah, dan ibnu sabil.
Bertolak dari kenyataan di atas, konsepsi alokasi zakat yang ditawarkan oleh al-Banjari terdapat beberapa perbedaan. Secara substanstif relatif sama, namun dalam prakteknya ada sedikit diferesiensi kategori. Tidak lain, paradigma baru ini muncul atas jawaban yang selama ini menjadi kegelisahan dan permasalahan sosial.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari memprioritaskan seyogyanya zakat diberikan kepada orang miskin dalam bentuk modal usaha dan pengadaan alat dan mesin bagi orang miskin yang memiliki keterampilan dalam usaha tersebut. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyarankan agar zakat diberikan kepada orang miskin yang ahli bisnis tetapi tidak memiliki modal untuk memulai bisnisnya. Bagi pekerja miskin yang memiliki keterampilan khusus, seyogyanya diberikan zakatnya berupa alat dan mesin untuk bekerja. (Ali Wafa, 2018: 1)
Secara konsep ekonomi, penyaluran zakat corak seperti ini akan menghasilkan produktivitas yang lebih baik dan pada akhirnya menjadikan negara yang lebih stabil dan ajeg secara finansial. Prinsip ini sudah lama diterapkan oleh negara tetangga, Malaysia, dengan memberikan alokasi khusus sebagai model usaha dan untuk pembelian alat dan mesin seperti truk, mesin pemotong rumput dan sebagainya ke asnaf yang layak.
Fenomena seperti itu sekiranya dapat diterapkan di bumi Indonesia untuk menjawab kebutuhan zaman dan pangan. Pendapat tentang dipergunakannya zakat untuk hal-hal yang bersifat produktif, misalnya untuk sewa tanah atau untuk modal usaha bagi fakir miskin itu merupakan hasil ijtihad Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. (Shabir, 2009)