Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
(Dosen IPMAFA Pati, Pengurus RMINU Jateng)
Sumber hukum ketiga adalah ijma’, setelah al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kitab الوجيز في اصول الفقه , Dr. Abdul Karim Zaidan menjelaskan, ijma’ secara bahasa ada dua makna:
- Peneguhan dan kebulatan tekad (العزم والتصميم علي الشيئ), seperti contoh:لا صيام لمن يجمع الصيام من الليل (tidak dianggap puasa orang yang meneguhkan dan membulatkan tekadnya atau niatnya dari malam hari).
- Kesepakatan (الاتفاق), seperti contoh dalam QS. Yunus 71:فاجمعوا امركم وشركاءكم (karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Adapun secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan ulama mujtahid dari umat Islam tentang hukum syara’ dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad (اتفاق المجتهدين من الامة الاسلامية في عصر من العصور علي حكم شرعي بعد وفاة النبي صلي الله عليه وسلم ).
Definisi ini menegaskan beberapa hal:
Pertama, kesepakatan ulama non-mujtahid tidak dianggap ijma’. Mujtahid adalah orang yang mempunyai kemampuan yang menyatu dalam jiwanya untuk melahirkan hukum syara’ dari dalil-dalil terperinci (والمجتهد هو من قامت فيه ملكة استنباط الاحكام الشرعية من ادلتها التفصيلية). Mujtahid kadang disebut faqih, ahlul halli wal aqdi, ahlir ra’yi, ahlul ijtihad, atau ulama umat. Sedangkan non-mujtahid adalah orang yang tidak mempunyai kompetensi melahirkan hukum, seperti orang ami (orang yang belum mencapai derajat mujtahid), atau orang yang tidak mempunyai ilmu tentang persoalan-persoalan syara’, atau orang yang mempunyai kompetensi dalam satu cabang ilmu (fan) atau ilmu lain, seperti kedokteran dan arsitektur.
Kedua, kesepakatan sebagian mujtahid tidak dianggap ijma’, seperti kesepakatan penduduk Madinah, penduduk Haramain (Makkah-Madinah), atau kesepakatan kelompok tertentu.
Sebagian ulama berpendapat: perbedaan satu, dua, atau tiga ulama tidak merusak ijma’.
Sebagian ulama lain menyatakan: kesepakatan mayoritas, meksipun tidak ijma’, adalah hujjah yang wajib diikuti, karena kesepakatan mayoritas menunjukkan kebenaran ada pada mereka, dan mereka mempunyai dalil yang pasti dan unggul yang mendorong terjadinya kesepakatan. Selain itu, menurut kebiasaan, sungguh langka jika ada dalil orang yang berbeda itu unggul.
Namun menurut Abdul Karim Zaidan, kesepakatan mengharuskan cakupannya menyeluruh, tidak ada yang dikecualikan. Jika ada perbedaan, meskipun satu, maka tidak bisa dikatakan ijma’, tidak bisa menjadi hujjah, dan tidak wajib diikuti karena mayoritas tidak menunjukkan dalil yang pasti benarnya. Terkadang mayoritas itu salah dan kebenaran bersama kaum minoritas. Meskipun demikian, mengambil pendapat mayoritas lebih menentramkan dan lebih diterima jika tidak jelas keunggulan dalil orang yang menentang.
Ketiga, mujtahid harus beragama Islam.
Keempat, kesepakatan ulama mujtahid wajib dibuktikan kebenarannya secara sempurna dalam kajian yang serius yang dilakukan secara kolektif. Dalam konteks ini tidak disyaratkan bubarnya masa (انقراض العصر), seperti kematian ulama mujtahid yang terlibat dalam proses ijma’. Oleh sebab itu, jika ada sebagian mujtahid yang menarik kembali pendapatnya tidak akan merusak ijma’. Lahirnya mujtahid baru yang belum ada pada waktu ijma’ dan lahirnya pendapat yang menentang tidak merusak ijma’.
Kelima, masalah yang disepakati ada dalam konteks hukum syara’, seperti hukum wajib, haram, sunnah, dan lainnya. Jika konsensus tidak dalam hukum syara’, seperti masalah olah raga, kedokteran, dan bahasa, maka tidak dikatakan ijma’.
Keenam, ijma’ dianggap benar jika dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Dasar Kehujjahan Ijma’:
Pertama, firman Allah dalam QS. An-Nisa’ 115:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا {115}
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115).
وجه الدلالة:
Allah mengancam orang-orang yang menentang jalan orang-orang mukmin karena jalan orang-orang mukmin adalah jalan benar yang wajib diikuti. Sedangkan jalan lain adalah batal yang wajib ditinggal. Sesuatu yang disepakati di antara orang mukmin adalah jalan mereka yang benar dan wajib diikuti. Inilah pengertian ijma’.
Kedua, banyak sunnah yang menunjukkan bahwa umat ini dijaga dari salah ketika mereka bersepakat dalam suatu urusan. Seperti sabda Nabi: لاتجتمع امتي علي خطاء (umatku tidak bersepakat pada kesalahan), dan hadis: لاتجتمع امتي علي ضلالة (umatku tidak bersepakat pada kesesatan). Hadis ini meskipun ahadi, namun maknanya mutawatir, sehingga mengandung kepastian bahwa kesepakatan umat adalah sebuah kebenaran. Kesepakatan umat digambarkan dengan kesepakatan mujtahidnya yang merupakan golongan yang mempunyai gagasan dan pengetahuan. Sedangkan yang lain mengikuti mereka.
Ketiga, kesepakatan mujtahid pasti mempunyai pijakan dalil syara’ karena dalam berijtihad mereka bukan berdasarkan hawa nafsu, tapi sesuai dengan metode resmi, pedoman tertentu, dan cara yang dibatasi yang menjaga mereka dari keinginan hawa nafsu. Jika mujtahid sudah bersepakat, maka pasti ada dalil syara’ yang menunjukkan dengan pasti.
MA. Sahal Mahfudh dalam kitab البيان الملمع عن الفاظ اللمع menjelaskan, ijma’ hanya bisa terjadi jika ada dalil, seperti al-Qur’an, sunnah, perbuatan Nabi, ketetapan Nabi, qiyas, dan seluruh metode ijtihad. Imam Dawud dan Ibn Jarir menolak qiyas menjadi dalil ijma’.
Macam-Macam Ijma’
Dalam kitab شرح منظومة الورقات في اصول الفقه karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, dijelaskan, ijma’ dibagi dua:
Pertama, ijma’ qauli (اجماع قولي). Misalnya, mereka berkata: hal ini boleh, haram, sunnah, dan lain-lain.
Kedua, ijma’ fi’li (اجماع فعلي). Misalnya, para mujtahid melakukan pekerjaan yang menunjukkan kebolehan pekerjaan tersebut. Jika tidak menunjukkan bolehnya pekerjaan tersebut, maka para mujtahid itu sepakat pada kesesatan dan hal ini tidak boleh, karena umat Nabi Muhammad dijaga bersepakat pada kesesatan.
Ketiga, ijma’ sukuti (اجماع سكوتي), yaitu ijma’ di mana sebagian mujtahid menyampaikan pendapat dan sebagian mujtahid melakukan suatu pekerjaan, yang pendapat dan pekerjaan mujtahid tersebut menyebar kepada mujtahid yang lain dan mujtahid yang lain diam dan tidak mengingkari setelah melakukan kajian dan analisis mendalam dalam waktu yang cukup.
Sedangkan Abdul Karim Zaidan membagi ijma’ menjadi dua:
Pertama, ijma’ sharih (اجماع صريح), yaitu: kesepakatan mereka dalam satu masalah di mana masing-masing mujtahid menyampaikan gagasannya secara eksplisit. Jika dalam satu tempat, maka mereka menyampaikan gagasan masing-masing dan bersepakat. Jika tidak dalam satu tempat, maka mereka menyampaikan gagasan dan gagasan mereka sama, sehingga sepakat. Potret lainnya adalah sebagian mujtahid memberikan fatwa dalam satu masalah, kemudian fatwanya sampai kepada mujtahid lain, dan secara terbuka mereka menyatakan sepakat. Gambaran lainnya adalah seorang mujtahid mengambil keputusan dalam satu masalah dengan hukum tertentu, kemudian hukum ini sampai kepada mujtahid lain, dan mereka secara terbuka menyatakan sepakat, baik dari sisi ucapan, fatwa, dan keputusan pengadilan.
Kedua, ijma’ sukuti (اجماع سكوتي), yaitu: jika ada mujtahid yang menyampaikan gagasannya, kemudian gagasan tersebut popular dan sampai kepada mujtahid lain. Mereka kemudian tidak merespons atau diam dan tidak mengingkarinya secara jelas dan tidak menyetujuinya dengan jelas dalam kondisi tidak ada hal yang melarang mereka untuk menyampaikan gagasan. Misalnya, ada waktu cukup untuk melakukan kajian mendalam dan tidak ada situasi yang mengancam mujtahid untuk menyampaikan gagasan.
Dalam kitab علم اصول الفقه Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan, ijma’ sharih adalah hujjah syara’ menurut madzhab mayoritas ulama (جمهور العلماء). Sedangkan ijma’ sukuti menurut mayoritas ulama tidak menjadi hujjah syara’ karena ia adalah pendapat sebagian individu mujtahid. Sedangkan ulama madzhab Hanafi menjadikannya sebagai hujjah dengan syarat mujtahid yang tidak berkomentar (diam) tersebut sudah disodori persoalan dan gagasan mujtahid lain dalam persoalan tersebut, ada waktu untuk mengkajinya, dan tidak ada faktor yang menunjukkan adanya sesuatu yang menjadikannya takut untuk menyampaikan gagasan. Alasannya adalah sebagai berikut:
لان سكوت المجتهد في مقام الاستفتاء والبيان والتشريع بعد فترة البحث والدرس ومع انتفاء ما يمنعه من ابداء راْيه لو كان مخالفا دليل علي موافقته الراْي الذي ابدي اذ لو كان مخالفا ما وسعه السكوت
Diamnya mujtahid yang punya fungsi sebagai tempat meminta fatwa, menjelaskan hukum, dan melahirkan syariat Islam setelah ada waktu untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam dan tidak ada sesuatu yang mencegah untuk menyampaikan gagasan jika ia menentang adalah tanda bahwa ia sepakat pada gagasan tersebut. Ketika ia menentang, maka tidak mungkin dia diam.
Meskipun demikian, pendapat unggul adalah madzhab mayoritas ulama, yang menyatakan bahwa ijma’ sukuti tidak termasuk hujjah. Argumentasinya adalah: diamnya mujtahid disebabkan banyak faktor, baik yang berkaitan dengan jiwanya (النفسي) dan selain jiwanya (غير النفسي). Semua faktor ini tidak bisa dipaksakan bahwa diamnya menunjukkan adanya kesesuaian dan keridlaan dengan pendapat mujtahid lain. Orang yang diam dianggap tidak punya pendapat dan tidak bisa dianggap ia mempunyai pendapat yang sesuai dengan pendapat lain atau berbeda (فالساكت لا راْي له ولاينسب اليه قول موافق او مخالف). Kebanyakan ijma’ adalah ijma’ sukuti ini.
Ijma’: Hujjah Dalam Segala Hal
MA. Sahal Mahfudh dalam kitab البيان الملمع عن الفاظ اللمع menjelaskan, ijma’ menjadi hujjah dalam semua hukum syara’, seperti ibadah, mu’amalat, hukum pidana, pernikahan, dan lain-lain dalam masalah hukum halal dan haram, fatwa, dan hukum-hukum. Sedangkan hukum akal dibagi dua. Pertama, sesuatu yang wajib mendahulukan pekerjaan dari pada mengetahui sahnya secara syara’, seperti barunya alam, penetapan Dzat Yang Mencipta, penetapan sifat-sifatNya, penetapan kenabian, dan yang menyerupainya. Dalam hal ini, ijma’ tidak menjadi hujjah karena ijma’ adalah dalil syara’ yang ditetapkan dengan jalan sam’u (mendengar wahyu). Maka, tidak boleh menetapkan hukum yang wajib diketahui sebelum sam’u (mendengar wahyu). Kedua, sesuatu yang tidak wajib mendahulukan pekerjaan di atas sam’u. Misalnya, bolehnya melihat Allah, ampunan Allah kepada orang-orang yang berdosa, dan lainnya yang bisa diketahui setelah mendengarkan wahyu. Ijma’ dalam hal ini menjadi hujjah karena hal itu boleh diketahui setelah adanya syara’ dan ijma’ termasuk dalil syara’, maka boleh menetapkan hukum itu dengan ijma’.
Adapun persoalan-persoalan dunia, seperti mengatur tentara, perang, pembangunan, industri, pertanian, dan lainnya dari kemaslahatan dunia, maka ijma’ tidak menjadi hujjah karena ijma’ dalam masalah itu tidak lebih banyak dari sabda Nabi dan sabda Nabi hanya menjadi hujjah dalam ijma’ syara’, bukan pada kemaslahatan dunia (وقد ثبت ان قوله انما هو حجة في اجماع الشرع دون مصالح الدنيا).
Mungkinkan terjadi ijma’ ?
Para ulama berbeda pendapat. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan perdebatan ini. Sebagian ulama menyatakan, ijma’ tidak mungkin bisa terjadi, karena tidak ada ukuran untuk menilai seseorang mencapai derajat mujtahid. Jika dimungkin adanya mujtahid di dunia Islam ketika sedang ada peristiwa, maka mengumpulkan mereka dengan jalan yang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan atau mendekati adalah sesuatu yang sulit. Perbedaan tempat dan pandangan mempersulit untuk mengumpulkan mereka dan pendapatnya. Jika mungkin mereka berkumpul, maka siapa yang menanggung bahwa mujtahid yang menyampaikan gagasan dalam satu masalah tetap masih konsisten dengan pendapatnya setelah pendapatnya sampai kepada mujtahid lain atau ia mencabut pendapatnya. Sedangkan syarat ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dalam satu waktu pada satu hukum suatu peristiwa (والشرط لانعقاد الاجماع ان يثبت اتفاق المجتهدين جميعا في وقت واحد علي حكم واحد في واقعة).
Hal lain yang menguatkan tidak mungkin terjadi ijma’ adalah sandaran dalil. Jika dalilnya qath’i, maka semua jelas, sehingga tidak membutuhkan ijma’ mujtahid. Sedangkan ketika dalilnya dhanni, maka mustahil terjadi ijma’, karena dalil dhanni adalah tempatnya perbedaan.
Meskipun demikian, mayoritas ulama menyatakan: ijma’ mungkin terjadi secara adat. Orang yang mengingkari ijma’ adalah keraguan pada sesuatu yang sudah terjadi. Salah satu contohnya adalah ijma’ dalam masa pemerintaha Abu Bakar, keharaman gajih babi, bagian waris nenek adalah 1/6, dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf termasuk ulama yang menyatakan, ijma’ tidak terjadi secara adat jika masalah ijma’ ini diserahkan kepada individu umat Islam dan mungkin terjadi ijma’ jika masalah ini diserahkan kepada pemerintahan Islam. Masing-masing pemerintah mampu menentukan syarat-syarat orang-orang yang sudah mencapai tingkat ijtihad dan memberikan ijazah resmi kepada orang yang memenuhi kualifikasinya. Dengan ini, pemerintah bisa mengetahui pandangan semua mujtahid terhadap masalah tertentu. Jika pandangan seluruh mujtahid sepakat dalam satu satu hukum, maka hal ini menjadi ijma’ yang merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti seluruh umat Islam.
Meskipun demikian, Abdul Wahhab Khallaf menyatakan, secara praktek, ijma’ tidak terjadi. Praktek yang dilakukan sahabat Abu Bakar ketika menyelesaikan masalah dengan mengajak musyawarah para sahabat bukan ijma’, tapi hasil musyawarah jamaah yang hadir, bukan hasil pendapat individu. Abu Bakar tidak mungkin mengumpulkan semua sahabat yang ada di Makkah, Syam, Yaman, dan tempat-tempat perang. Hanya sahabat yang mungkin bisa diajak kumpul dikumpulkan untuk membahas satu masalah dan keputusan yang diambil sahabat Abu Bakar adalah pendapat jama’ah dan pendapat jamaah lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat individu. Praktek seperti ini juga yang dilakukan sahabat Umar. Hal inilah yang menurut ahli fiqh dikatakan ijma’. Namun, hakikatnya hal ini adalah syariat jamaah, bukan individu dan hal ini tidak terjadi kecuali pada masa sahabat (فهو في الحقيقة تشريع الجماعة لا الفرد وهو ما وجد الا في عصر الصحابة).
Telaah:
MA. Sahal Mahfudh dan KH. A. Mustafa Bisri menerjemahkan kitab tentang ensiklopedi Ijma’. Dalam kajian ini, kitab terjemahan tersebut menarik dibaca dan dikaji secara mendalam sebagai bukti historis terjadinya ijma’ dalam berbagai bidang hukum, ibadah maupun mu’amalah secara luas.
Lebih dari itu, saat ini terjadi pertemuan ulama-ulama dunia dalam wadah Rabithah ‘Alam al-Islami, Majma’ al-Fiqh al-Duwali dan forum-forum dunia lain yang melibatkan pakar dan cendekiawan Islam dari berbagai disiplin ilmu, khususnya fiqh, untuk merespons dan menetapkan status hukum persoalan-persoalan aktual yang terjadi.
Forum-forum dunia tersebut menjadi upaya ulama untuk melahirkan konsensus bersama dalam bidang agama yang menjadi acuan umat Islam seluruh dunia. Tentu, dalam forum tersebut, fanatisme bermadzhab dan primordialisme pemikiran dihindari untuk mencapai rumusan hukum yang relevan dengan tantangan zaman dan berpijak kepada dalil yang kuat.
Kader-kader muda Islam Indonesia sudah waktunya aktif dalam forum-forum dunia tersebut untuk menyerap tradisi intelektual dari berbagai manca Negara, memberikan kontribusi keilmuan secara optimal, dan menunjukkan pandangan hidup ala Islam Nusantara yang menjadi poros Islam moderat yang sedang diperbincangkan dunia karena mampu menghadirkan Islam ramah, yang jauh dari nilai-nilai radikalisme, fundamentalisme, ekstrimisme, dan terorisme dengan Platform Pancasila dan UUD 1945.
Apakah hasil forum pertemuan ulama dunia tersebut dikatakan ijma’ ? Saya kira hal ini masih menjadi perdebatan panjang, karena berpijak pada pandangan: masihkan dijumpai seorang mujtahid di era sekarang atau sudah tidak ada ? Pandangan yang menyatakan, sekarang tidak ada mujtahid, maka tidak mungkin ada ijma’, karena syarat ijma’ adalah mujtahid. Sedangkan pandangan yang menyatakan, sampai akhir zaman masih ada mujtahid, maka mungkin terjadi ijma’.
Lepas dari pandangan di atas, yang terpenting sekarang ini adalah lepas dari kontriversi. Tapi bergerak terus ke depan secara dinamis dan produktif untuk memberikan kontribusi keilmuan nyata kepada masyarakat dan dunia dengan aktif dalam forum-forum dunia yang membahas persoalan-persoalan hukum yang ditunggu jawabannya untuk masyarakat dunia internasional.