Hindari Mentalitas Terjajah

0
2231
http://www.ahlulbaitindon.com

Pati, nujateng.com – Talkshow Ilmiah Tuan Guru Dr. M. Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Barat, Doktor Tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, Pengasuh Pondok Pesantren) bersama KH. Abdullah Umar Fayumi yang biasa dipanggil Gus Umar (Pengasuh PP. Raudlatul Ulum Kajen, Alumnus PP. Sarang Rembang dan Ribath Syekh Ahmad Mekkah) di aula Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kajen, Pati Sabtu, (17/02).

Kegiatan tersebut membawa kesadaran baru umat Islam untuk membumikan Islam Rahmatan Lil-Alamin atau yang dikenal dengan Islam Nusantara yang diusung dan diperjuangkan oleh komunitas Nahdlatul Ulama (NU). Kesadaran baru ini sangat penting di tengah eskalasi gerakan radikalisme dan fundamentalisme keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia. Beberapa point penting pemaparan kedua tokoh ilmuwan di atas akan dijelaskan sebagai berikut:

Qaabilun Lil-Isti’mar

Bennabi kata TG Zainul Majdi setelah melakukan perjalanan panjang di Negara-negara Islam, baik Asia maupun Afrika, masih menjumpai sisa-sisa mentalitas yang sangat membahayakan umat Islam, yaitu qaabilun lil-isti’mar, menerima untuk dijajah. Mentalitas ini menjadikan umat Islam terbiasa menggantungkan diri kepada pihak lain, khususnya Negara-negara yang pernah menjajah.

Tentu ini adalah realitas ironi yang harus diubah supaya umat Islam mampu tegak berdiri dengan kepala sendiri, percaya dengan kemampuan sendiri, dan tidak merasa rendah diri berhadapan dengan Negara lain, apalagi yang pernah menjajah. Al-tsiqah bin nafsi (الثقة بالنفس percaya kepada diri sendiri) dan menggelorakan semangat optimisme (تفاوْل tafaaul) harus menjadi gerakan kolektif yang harus terus disuarakan demi izzul Islam wal muslimin (keagungan Islam dan umatnya). Jangan sampai umat dan bangsa ini terus dihinggapi penyakit mental inferiority complex (merasa rendah dan tidak berdaya secara akut berhadapan dengan Negara-negara maju). Penyakit ini membuat umat dan bangsa ini sulit mengalami kemajuan dan kejayaan.

Kebangkitan Ilmu

Tidak ada cara lain untuk menghilangkan penyakit inferiority complex kecuali membangkitkan spirit ilmu sebagai modal terbesar umat Islam dalam melakukan pergerakan menuju kejayaan di segala aspek kehidupan. Jangan sampai umat Islam terkena penyakit malas bangkit (kasalul juhud), tapi justru harus membangkitkan diri dengan menjelajah ilmu sampai kepada puncaknya. TG Zainul Majdi mengutip pendapat Gus Umar menyatakan, sanad (mata rantai transmisi ilmu) umat Islam Indonesia termasuk sanad ilmu yang orisinal dan fundamental (ashil) yang tersambung langsung kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Ulama-ulama Indonesia dalam sejarahnya pernah mewarnai intelektualitas dunia di jantung ilmu dan peradaban. Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh At-Tarmasi, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani yang dikenal dengan musnidun dunya adalah tokoh-tokoh ulama nusantara yang menjadi guru besar dan mufti di Masjidul Haram Mekkah sebagai pusat keilmuan dan peradaban Islam yang menjadi rujukan umat Islam dunia. Spirit intelektualitas ulama-ulama berkaliber internasional inilah yang harus diwarisi oleh umat Islam nusantara, khususnya kepada para santri yang sedang menimba ilmu di pesantren.

Jangan Batasi Literatur

Para santri tidak boleh membatasi kajian ilmunya pada bidang-bidang tertentu, misalnya hanya dalam aspek fiqh, tauhid, dan akhlak. Para mushannif (penulis kitab) yang dikaji di pesantren sebenarnya mempunyai beragam kitab yang seyogianya dikaji semua untuk mengetahui gambaran utuh pemikiran seorang tokoh. Imam Jalaluddin As-Suyuthi tidak hanya menulis kitab Tafsir Jalalain yang biasa dikaji di pesantren. Beliau juga menulis kitab sejarah Taariikhul Khulafa’ (sejarah para raja), al-Asybah Wan Nadlair (qawaid fiqh), al-Ishabah fi atsari al-Shahabah, Addurrun Mantsur (tafsir), dan lain-lain. Imam Ghazali tidak hanya menulis kitab Bidayatul Hidayah yang biasa dikaji di pesantren, tapi juga menulis kitab Al-Mustashfa (ushul fiqh), Ihya’ Ulumiddin, kimmiyyatus sa’adah, al-munqidz minad dlalal, tahafutul falasifah, misykatul anwar, dan lain-lain yang kaya ilmu, informasi, dan gagasan yang cemerlang. Begitu juga dengan ulama-ulama lain.

Ulama-ulama yang karyanya dikaji di pesantren sebenarnya mempunyai beragam ilmu (mutafanni), multidimensi, yang harus dikaji supaya para santri mempunyai potret pemikiran yang komprehensif dan solutif dalam merespons persoalan-persoalan yang terjadi. Dalam konteks kajian fiqh, seyogianya di pesantren dikembangkan kajian ushul fiqh sebagai ilmu yang berorientasi pada manahiju istinbathil ahkam مناهج استنباط الاحكام(metode pengambilan hukum), sehingga hukum bisa berkembang secara dinamis dan kontekstual. Dengan melakukan penjelajahan atau penelusuran ilmu sampai ke akar-akarnya dengan mengkaji semua produk pemikiran ulama-ulama terdahulu, akan melahirkan buah keilmuan yang matang, orisinal, dan kokoh yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pemberdayaan masyarakat di banyak bidang.

Bergerak, Jangan Stagnan

KH. Umar Fayumi menegaskan, perubahan diawali dengan pergerakan. Nabi Musa ketika berdoa memohon kepada Allah supaya orang-orang kafir-musyrik dihancurkan di muka bumi, dijanjikan dengan Allah tapi nanti setelah 20 (dua puluh) tahun. Setelah 20 tahun, Nabi Musa menagih janji Allah, Allah kemudian menjawab apakah Nabi Musa sudah menyiapkan tempat (wadah)-nya. Pemahaman Nabi Musa yang salah dalam memahami janji Allah tidak berbuah perubahan apapun, karena hanya berdoa tanpa usaha maksimal dalam melakukan perubahan. Setelah ditegur Allah, Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidlir bagaimana cara melakukan perubahan. Akhirnya, selama 20 tahun, perubahan yang diinisiasi Nabi Musa dengan kemampuan militernya, Nabi Khidlir dengan kemampuan intelijennya, dan Nabi Harun dengan kemampuan diplomasinya mampu mengalahkan trio penguasa: Fir’aun yang sakti, Haman yang mempuni, dan Qarun yang kaya dunia.

Spirit pergerakan ini harus terus dihidupkan dengan penuh optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi dengan optimalisasi bidang ilmu, ekonomi, dan politik untuk membangun peradaban baru yang sesuai dengan ajaran dan nilai Islam yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesejahteraan, kemandirian, dan kebahagiaan hakiki dunia-akhirat. Saatnya umat Islam Indonesia menjadi aktor utama yang menentukan perjalanan negeri dan dunia Islam dengan kemampuan ilmu, ekonomi, dan politiknya yang membawa kemajuan besar di segala bidang kehidupan.

Jangan sampai umat Islam terus menerus mengalami keterpurukan (qiyamat) ilmu, ekonomi, teknologi, dan peradaban, sementara umat lain mengalami kejayaan. Spirit Islam yang mendorong umatnya untuk meningkatkan kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu, kecintaan menelusuri dan mengungkap ilmu (حب الاستطلاع hubbul istithla’), dan mentalitas menghasilkan produk-produk baru yang inovatif harus dijalankan umat Islam secara massif dan kolektif dengan kepemimpinan yang visioner. [Jamal/009]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.