Oleh: Muhamad Zainal Mawahib
Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
Identitas Buku:
Judul: Desimbolisasi Kultur; Pluralitas Pemahaman Keislaman dan Pudarnya Simbol-simbol Kultur
Penulis: Abu Hapsin
Halaman: xiv + 162
Cetakan: I, April 2017
Penerbit: eLSA Press
ISBN: 978-602-74145-5-6
Melalui Buku ini, Abu Hapsin menekankan bahwa pluralitas pemahaman keislaman adalah sebuah keniscayaan. Sehingga perbedaan pemahaman dalam memahami keislaman merupakan hal yang sangat wajar dan pasti terjadi. Selama pintu ijtihad masih terbuka lebar, bagi individu (ijtihad fardi) maupun kelompok (ijtihad jama’i), perbedaan pendapat tidak akan dapat dihindari. Mengingat dua sumber utama hukum Islam (mashadir al-ahkam), al-Qur’an dan Hadist sangat berwatak multi interpretable. Penafsiran atas kedua sumber tersebut akan selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektifitas, disamping faktor-faktor lingkungan sekitar seorang penafsir, seperti sosial-politik, budaya dan geografis.
Kenyataan bahwa bahasa agama (teks suci keagamaan) banyak yang equivocal, allegoric dan symbloic, sebenarnya telah menjadikan indikasi yang jelas bahwa kebenaran agama pasti dipahami dengan cara yang berbeda. Al-Qur’an sendiri telah mengajak umat Islam untuk menyadari akan kenyataan perbedaan dalam memahami jalan hidup serta aturan yang harus dilakukan menuju kebenaran (QS. al-Ma’idah: 48, QS. Maryam: 37).
Sejak masa Rasulullah pluralitas pemahaman mengenai persoalan-persoalan keagamaan sebenarnya sudah terjadi. Hanya saja, dampak negatif yang biasanya timbul akibat faktor-faktor subjektifitas masih bisa diselesaikan oleh Nabi, sebagai tempat pengaduan final dari semua permasalahan pada waktu itu. Sehingga perbedaan pemahaman terhadap persoalan keislaman yang terjadi dalam tubuh umat Islam berakhir dengan sikap penerimaan (tasamuh).
Pasca Nabi wafat, ditambah lagi dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan, Islam selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan baru yang lahir sebagai akibat dari proses asimilasi dengan budaya daerah. Oleh karena itu, kebutuhan akan ijtihad semakin meningkat guna mencari kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan baru. Dalam hal ini sudah pasti akan berakibat pada meluasnya permasalahan khilafiyah di kalangan umat Islam, (hal. 135).
Sikap terhadap perbedaan pemahaman keislaman yang ditunjukkan oleh generasi pasca Nabi wafat sedikit bergeser. Apabila pada masa Nabi perbedaan berakhir dengan sikap tasamuh, namun pasca Nabi wafat, perbedaan kerap diselesaikan dengan cara-cara intoleran. Karenanya dalam lintas sejarah Islam, banyak sarjana muslim yang dihukum mati lantaran menyampaikan gagasan yang tidak sejalan dengan kepentingan politik penguasa.
Menarik untuk diperhatikan pendapat Ahmad Shubhi Manshur dalam karyanya, al-Hisbah Dirasah Ushuliyah Tarikhiyah, menyimpulkan perjalanan kekuasaan Islam pasca Nabi. Ia mengatakan: “Kekuasaan Nabi berdiri di atas demokrasi (asy-syura), kebebasan (al-hurriyah), dan keadilan (al-‘adl), namun seiring berjalannya waktu, setelah memasuki Dinasti Umayah dan Abbasiyah, kekuasaan dibangun di atas pondasi kekerasan dan kezaliman”.
Sejak Islam memasuki masa kedua dinasti ini, Islam kerap kali dijadikan sebagai “alat pembenar” penguasa dalam merebut dan menjaga kekuasaan, serta menghalau para penentang negara. Dari sini, sejumlah hukum Islam yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad mulai terproduksi. Sebagai contoh konsep riddah (keluar dari agama Islam) dan hisbah (pengawasan terhadap akidah dan perilaku umat Islam) dirumuskan oleh fuqaha’ masa Abbasiyah demi menjaga kekuasaan dari gerakan penduduk Persi yang menumbangkannya, (hal. xi).
Menyikapi Pluralitas
Membaca sejarah yang demikian, akibatnya agama sering dianggap sebagai “sumber konflik”. Agama selalu dihadirkan untuk melegitimasi setiap tindakan orang yang beragama. Meskipun permasalahan agama sebagai sumber konflik atau sumber harmoni telah sejak lama diperdebatkan. Dalam hal ini, Abu Hapsin berargumen bahwa permasalahan tersebut sudah barang tentu akan sangat tergantung pada dual hal. Pertama, bagaimana hasil penafsiran keagamaan itu disikapi, dan Kedua, menyangkut cara bagaimana agama itu ditafsirkan.
Ketika hasil penafsiran keagamaan yang sebenarnya tidak lepas dari aspek subjektifitas, disikapi sebagai suatu ajaran yang absolut, maka orang akan bersikap eksklusif terhadap orang lain, karena dianggapnya berada dalam kesalahan. Begitu pula ketika agama ditafsirkan dengan cara sempit, maka beragama menjadi seperti berada dalam ruangan sempit, tidak memberikan ruang gerak sesuai dengan perubahan waktu dan tempat (taghayyur al-zaman wa al-makan). Akibatnya akan terjadi penyempitan cara pandang dalam memandang yang lain, baik terhadap orang yang ada di luar keyakinan keagamaannya maupun terhadap orang yang ada di luar kelompoknya dalam satu keyakinan keagamaan, (hal. 34).
Menurut Abu Hapsin, dua hal tersebut, yakni absolutisasi hasil penafsiran dan cara menafsirkan agama, dalam praktiknya terkadang bisa menimbulkan suatu gerakan radikalisme keagamaan. Suatu semangat untuk melakukan perubahan pemahaman keagamaan secara mendasar sampai akar-akarnya. Dalam konteks ini, radikalisme keagamaan sering memiliki konotasi negatif.
Oleh karena itu, pluralitas pemahaman keislaman meski harus didudukkan sebagai kewajaran, namun dalam waktu yang bersamaan tidak boleh melupakan misi kenabian, yakni menebarkan kasih sayang kepada sesama (rahmatan lil ‘alamin), atau dalam istilah ushul fiqh, menciptakan kebaikan bagi semua umat manusia (li tahqiqi mashalih al-‘ibad).
Ada 8 (delapan) artikel panjang yang disajikan dalam buku Desimbolisasi Kultur: Pluralitas Pemahaman Keislaman dan Pudarnya Simbol-simbol Kultural ini yang saling berkaitan. Melalui karya ini Abu Hapsin menuangkan pemikiran dialektik, antara teks dan konteks, tradisi dan modernitas. Pemikiran ini sebagai salah satu upaya untuk mengkontektualisasikan hukum Islam yang meniscayakan perubahan dengan tetap memperhatikan misi-misi kenabian.