Oleh: Alhilyatuz Zakiyah Fillaily
(Cerpenis Muda NU asal Pati Jawa Tengah)
“Pepali Ki Ageng, Selo amberkahi
Ojo gawe angkuh, ojo ladak lan ojo jahil
Ojo ati serakah, lan ojo celimut
Ojo buru aleman, lan ojo ladak
Wong ladak pan gelis mati, lan ojo ati ngiwo
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad tibbil quluubi wadawaihaa
Wa’afiyatil abdani wasyifaihaa wanuril abshori wadhiyaaihaa wa’alaa alihi washohbihi wasallim
Nindaki kewajiban, kanthi dasar iman
Akhlak bagus tumus, sabar alus noto ati mapan
Ta’at lan ngabekti, perintahe Gusti
Nindakno ngibadah, netepi printah amal kang pinuji
Nyandong rodho rahmat lan syafa’at saking kanjeng Nabi.”
Bersama guyuran hujan yang bertamu, anak semata wayang menemui bayangan Mak Sri. Seorang janda yang hanya bisa baca tulis, juga mengaji berharap anak itu menjadi anak yang sukses. Seperti Syi’ir yang membuat Mak Sri menahan airmatanya akibat kerinduan selama ini. Ta’at lan ngabekti perintahe Gusti, nindakno ngibadah netepi printah kang pinuji. Begitu mampir di dalam hati Mak Sri sebagai doa untuk anaknya tercinta. Walau begitu kegundahan gesturnya tetap nampak.
Bagaimanapun namanya orangtua akan merindukan anaknya. Apalagi anak satu-satunya. Ini mungkin yang dinamakan bahagia itu sederhana. Ketika ada anak di sampingnya itulah bahagia, sudah itu saja. Meski sangat berat melepaskan anak gadisnya, tetapi bagaimana lagi. Mak Sri lebih tak kuat jika melihat anaknya tertahan untuk mengejar mimpinya, tak rela jika wajah ayu anaknya menjadi kuyu. Sebenarnya ladang peninggalan suami sudah cukup jika hanya memelihara seorang anak. Rupanya jiwa muda anaknya begitu membara.
Mak Sri merasa hidupnya semakin terfokus pada ladangnya. Meski anak gadisnya merantau, ia ingat betul apa yang diajarkan ketika mengaji tak boleh menggantungkan apapun kepada siapapun. Rupanya watak pemanut orang Jawa melekat dalam diri Mak Sri. Ladang itu memang kini lebih bernyawa. Entah kenapa, ladang bukan sekadar ladang baginya. Kala Mak Sri berladang, ia ingat betul tempat duduk suaminya di bawah pohon karsen. Pohon liar yang tiba-tiba hidup, biasanya ditebang kalau sudah terlalu tinggi. Satu demi satu memori itu menyeruak. Muncullah anak gadisnya yang seperti biasa membawakan olahan masakan di dalam rantang. Anaknya itu gemar mengayuh ranting pohon karsen untuk meraih buahnya. Suaminya yang tadinya layuh, menjadi gilang-gemilang. Ladang itu menyimpan nyawa orang-orang kesayangannya. Ia paham betul satu tak akan kembali di dunia, satunya lagi selalu menjadi pikirannya.
Entah mengapa padi milik Mak Sri tak pernah gagal panen, orang-orang sering memujinya padahal ia bekerja sendirian. Mak Sri kadang membatin, lagi-lagi ia selalu ingat apa yang dikatakan gurunya setelah susah itu ya bahagia. Mak Sri seperti Dewi Sri saja. Nyai Pohaci Sanghiyang Asri penguasa tanah yang menumbuhkan padi. Meski Batara Guru tak dapat membahagiakan Dewi Sri, sejatinya kematiannya jauh mendatangkan kebahagiaan untuk semua. Barangkali Mak Sri harus merasakan kesendirian supaya cintanya tak terbagi untuk padinya.
Bukan Mak Sri kalau tidak rumat. Malam harinya ia sering ke sawah memastikan rawatannya itu baik-baik saja.
“Di… padi… tenanglah nak. Mak menjagamu dari siapa saja yang mengganggumu.”
Melalui bahasanya sendiri padi segera menjawab. Semilir angin berjuntaian. Mak Sri tersenyum. Lalu pandangannya melesat jauh. Menemui anak gadisnya. Bukan lagi hati yang disabar-sabarkan, memang Mak Sri terlahir sebagai orang yang sabar. Ada yang ingin disampaikan ketika menatap. Bibirnya mengeluarkan uap belum sempat terucap tetapi airmatanya buru-buru berdesakan keluar.
“Ckkkkkikkkkkk kkk eke k eke k eke k.”
Burung-burung segera datang menghibur. Kunang-kunang yang tadinya nampak jauh, semakin mendekati. Seolah-olah anak yang ingin menghibur ibunya. Mak Sri dengan keguncangan hatinya menoleh ke kanan-kiri menerima kehadiran pelupuk matanya.
***
“Assalamualaikum Mak!” lirih.
Mak Sri kaget. Suara itu satu-satunya suara yang dirindukannya selama ia hidup di dunia. Iya, suara yang melalui suaranya ia mendoakan.
“Wa’alaikumussalam… (kaget)… nduk.”
Isak tangis keduanya pecah. Mak Sri sempat naik pitam, anaknya langsung mencium kakinya. Saat itu juga ia menjerit supaya Gusti Allah mencabut nyawanya. Setelah kerinduan yang setiap hari menghadangnya, sejenak yang dimintanya menjadi ingin menyimpan sesal. Terkadang kenyataan jauh lebih menyakitkan daripada harapan. Kesakitan jauh lebih sulit diutarakan daripada kebenaran.
“Ya Allah Gusti, kamu mengandung anak siapa nduk?”
Azizah yang kurus menangis sejadi-jadinya tak mampu menjawab. Perawakannya yang ayu, tubuhnya istimewa. Layaknya bunga desa yang menyimpan kagum pada tubuhnya bagi siapa saja yang memandang. Apalagi lelaki bajingan kota, meski pejabat tetapi moralnya tak bermartabat. Pantaslah jika Azizah menjadi bokingan, gadis cantik dibanding istri-istri mereka yang tidak menawan. Toh lelaki mana yang menolak diberi daging muda yang masih utuh? Mak Sri menyesal melepaskan Azizah. Sesal yang mendalam. Begitulah anak jika sudah di luar rumah, maka ia akan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Terlena sedikit saja, fatal sekali hasilnya.
Sebagai orang tua satu-satunya Mak Sri merasa paling bertanggungjawab atas semuanya. Segeralah ia menyuruh Azizah pergi menemui gurunya, dan belajar di sana. Berharap Gusti Allah memaafkan anaknya.
***
Dipandangainya padi-padi. Masih utuh, dan segar. Saking banyaknya masalah sampai kering airmatanya. Benarlah apa yang dikata gurunya, tak boleh berharap apa-apa kepada siapapun.
“Anakku waktu itu terlalu tergesa-gesa menyimpulkan keinginannya. Aku yang tak tega membiarkan ia pergi. Bukankah lebih baik waktu itu dia kuserahkan pada guruku saja, Biar belajar agama. Pulang ke kampung bisa menjadi guru di surau-surau. Memang yang berbau dunia lebih menggebu-gebu. Aku pun hanya berusaha mengurusimu dengan baik padi, tetapi sepertinya aneh jika mengurusmu saja bisa masak mengurus anakku sendiri tak bisa.”
Perlahan airmata itu keluar, dan semakin menjadi-jadi tangisnya. Kunang-kunang berhamburan, mendekati Mak Sri. Kali ini Mak Sri memang sudah sangat sakit. Kunang-kunang semakin banyak berhamburan akibat tangis yang tak kunjung kering. Biasanya memang begitu, jika seseorang sudah biasa bersenggama dengan alam.
***