Oleh: Khoirul Anwar
Pada tanggal 22 Oktober 1945, pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, bersama para kiai NU lainnya menyatakan bahwa hukum berperang melawan penjajah adalah fardlu ‘ain, yakni menjadi kewajiban setiap individu muslim, laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak kecil, bersenjata atau tidak. Wajib ‘ain ini berlaku bagi umat Islam yang berada di dalam lingkaran jarak 94 kilometer tempat kedudukan musuh.
Sedangkan bagi umat Islam yang berada di luar jarak itu hukumnya fardlu kifâyah, kecuali apabila musuh tidak bisa dikalahkan maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain supaya umat Islam bisa menang. Musuh di sini maksudnya para penjajah Belanda dan sekutunya.
Seruan perang di atas murni diambil dari literatur fikih yang biasa diajarkan di pondok pesantren, yakni fikih madzhab Syâfi’î. Dalam kitab Fathu al-Qarîb al-Mujîb karya Syaikh Muhammad bin Qâsim al-Ghazî (w. 918 H) dijelaskan, bahwa perintah jihad melawan orang-orang kafir pasca Nabi Muhammad wafat ada dua, yaitu: 1) fardlu kifâyah dalam setiap tahun apabila orang-orang kafir berada di negaranya sendiri, dan 2) fardlu ‘ain apabila orang-orang kafir sudah masuk ke dalam negara Islam atau berada di wilayah sekitarnya. (Al-Ghazî, tt: 58-59).
Gagasan Resolusi Jihad yang diambil dari kitab kuning ini sangat menarik. Alasannya, dalam literatur fikih kerap dipahami bahwa jihad ialah perang melawan orang-orang kafir (non muslim). Perang dilakukan demi tersebarnya agama Islam dengan menundukkan orang-orang kafir. Rumusan fikih ini berpijak pada hadis Nabi: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka berkata ‘tidak ada Tuhan selain Allah’ (Umirtu an uqâtila an-nâsa hattâ yaqûlû lâ ilaha illallah).”
Sementara para kiai dan santri NU yang menggagas Resolusi Jihad memahami bahwa perang dilakukan demi mempertahankan tanah air. Baginya, mempertahankan tanah air bagian dari manifestasi rasa cinta terhadap tanah kelahiran. Dalam maqâlah yang sangat popular di kalangan warga nahdliyyîn disebutkan: “Mencintai tanah air bagian dari iman (Hubbu al-wathan min al-îmân).”
Di sini para kiai telah mendialogkan teks-teks yang ditulis puluhan abad lalu untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Indonesia saat itu, yakni jihâd di jalan Allah bukan “karena agama memerintahkan memerangi non muslim supaya mereka masuk atau tunduk kepada agama Islam”, melainkan “karena memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari kaki-kaki penjajah”.
Bisa diandaikan; jika para penjajah itu kebetulan beragama Islam, pasti Resolusi Jihad akan tetap diterbitkan. Karena yang menjadi alasan terbitnya peristiwa bersejarah itu bukan terletak pada identitas agama penjajah, melainkan perilaku penjajahan itu sendiri, yakni hendak merebut hak kemerdekaan bangsa ini dan melakukan kejahatan serta kezaliman.
Kontekstualisasi Fikih
Kontekstualisasi fikih perang di atas tidak mungkin terjadi tanpa ada kesadaran lokalitas dari para kiai dan santri NU masa lampau. Baginya, fikih bukan harus dipahami “apa adanya”, melainkan harus memperhatikan “ada apanya” atau kepentingan yang hendak digapai. Narasi fikih adalah narasi realitas tempat di mana fikih itu diproduksi, sehingga pemahaman atas sejarah sosial mutlak diperlukan demi menyingkap kehendak yang dimaksud penulis teks (mu`allif).
Pertimbangan aspek lokalitas atau konteks ini terlihat diperhatikan betul dalam keputusan-keputusan hukum yang diberikan para kiai masa lampau. Selain Resolusi Jihad, misalnya hukum memakai jas dan dasi. Pada masa penjajahan, hukum memakai jas dan dasi haram karena menyerupai para penjajah (tasyabbuh), tapi setelah merdeka KH. Wahab Chasbullah memakainya. Hukum berubah seiring dengan perubahan konteks.
Dengan mempertimbangkan konteks fikih, maka fatwa-fatwa yang berpijak darinya akan banyak memberikan mashlahat kepada umat dan tidak menjadi bara api yang membakar perseteruan di antara anak bangsa.
Kini seiring dengan berjalannya waktu, banyak persolan-persoalan bangsa yang harus diselesaikan. Para kiai dan santri sebagai penerus perjuangan Mbah Hasyim Asy’ari dan para kiai pendahulu lainnya, punya tanggungjawab untuk memberikan jawaban-jawaban dan solusi keagamaan yang kontekstual dan meneduhkan.
Fatwa-fatwa keagamaan dari para kiai dan santri, terutama yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama dan persamaan hak warga negara sangat ditunggu oleh khalayak umum. Fatwa di sini tentunya fatwa yang kontekstual dan mencitrakan Islam rahmatan li al-‘âlamîn. Karenanya, melalui Hari Santri Nasional yang menjadi pengingat bagi masyarakat atas perjuangan para kiai dan santri masa lalu dalam memperjuangkan kemerdekaan, para kiai dan santri masa kini dituntut untuk melanjutkan pengawalan terhadap keutuhan NKRI dengan merawat keragaman dalam persatuan bangsa Indonesia.
Pengurus PW LBM NU Jawa Tengah
assalamu alaikum wr wb