Ungaran, nujateng.com- Kania Rizqiya Putri (10) begitu asyik melihat 6 teman laki-lakinya yang sedang menghadapi dua papan catur. Sesekali ia ikut memberikan petunjuk kemana mestinya menjalankan pion. Kania, begitu sapaan akrabnya, seperti ikut larut dalam permainan catur yang dimainkan teman-temannya. Seolah tak mempedulikan anak-anak lainnya yang berlarian melewati arena permainan caturnya. Sejurus kemudian, melintaslah sang kepala sekolah. Tanpa dikomando, semuanya mendekat dan mengerubuti sang kepala sekolah, mencium tangannya untuk kemudian melanjutkan kembali mainannya, persis di depan ruangan perpustakaan sederhana.
Di dekat anak-anak bermain, ada tiga kursi tamu dan satu meja. Kursi dan meja itu bersanding dengan lemari berhias puluhan piala dan plakat. Mulai dari lomba tilawatil qur’an hingga adzan ada disana. Sekitar pukul 09.30, Kania dan teman-temannya sedang menikmati istirahat pelajaran sekolah. Sembari sesekali membetulkan kerudungnya, Kania tidak pelit untuk sekadar mengenalkan diri. “Sekarang kelas 4 pak. Betah sekolah disini,” akunya ketika ditanya duduk di kelas berapa dan apakah ia betah bersekolah di tempat sekarang ia menimba ilmu.
Sementara Kania dan teman-temannya sedang khusyu’ bermain catur, seorang siswa bertubuh tinggi datang menghampiri sang kepala sekolah.”Ini pak hasil ujiannya,” ujarnya sembari memberikan dua lembar soal yang sudah diberikan jawabannya. Hilal Kurnia nama siswa tersebut. Hilal merupakan siswa kelas lima. Ia terlihat yang paling tinggi diantara teman-temannya. Beda dengan Kania, Hilal terlihat malu-malu. “Ayo kenalan dulu, Hilal,” suruh seorang guru kepada Hilal. “Enggak pak ah, malu,” kata Hilal sembari menutup mukanya.
Hilal dan Kania adalah dua diantara 139 siswa yang bersekolah di Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Keji, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang di tahun ajaran 2014-2015. MI Keji adalah satu dari sedikit madrasah yang menerapkan program inklusi. Hilal dan Kania merupakan siswa dengan kebutuhan khusus. Di tahun ajaran 2014/2015 ada 14 siswa di MI Keji yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka yang bersekolah di MI Keji antara lain adalah siswa dengan slow learning, disleksia, hyper active, autis ringan dan lain-lain. Penerapan program inklusi ini, menjadi salah satu pembeda MI Keji dengan sekolah lainnya, Walau belum sempurna, tapi adanya treatment khusus bagi siswa yang berkebutuhan khusus ini nampaknya memompa semangat pengelola sekolah untuk terus meningkatkan layanan, utamanya kepada siswa-siswi yang memiliki kemampuan berbeda.
Adalah Supriyono, Kepala Sekolah MI Keji yang memiliki gagasan untuk membuka program inklusi tersebut. Latar belakang pendidikannya yang bukan berasal dari Pendidikan Luar Biasa, tak menyurutkan niatnya untuk mendermakan hidupnya pada anak-anak, yang dalam bahasanya adalah “mutiara-mutiara MI Keji.” Merasa perlu memperkaya wawasannya tentang pendidikan inklusi, ia banyak berdiskusi, membaca buku dan modul serta mengikuti pelatihan demi pelatihan.
Berawal Dari Sebuah Diskusi Ringan
MI Keji merupakan madrasah berstatus swasta dengan NIS 20320635 dengan Surat Keterangan (SK): LK/3.C/177/PKM/MI/1973 yang diterbitkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Departemen Agama (Kementerian Agama) Provinsi Jawa Tengah. Sekolah ini diselenggarakan oleh Yayasan Desa Keji, sekolah dengan luas kurang lebih 750 meter persegi ini beralamat di Jl. Bima Sakti Raya Desa Keji Ungaran Barat 5051. MI. Keji Ungaran Barat berdiri pada 1 Juni 1973. Sekarang MI Keji berada dibawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Semarang.
Menurut Supriyono, tujuan pembelajaran yang dilakukan oleh MI Keji adalah memberikan kesamaan hak bagi anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang bermutu dan memberikan kesempatan bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan sosial. Keberadaan M.I. Keji Ungaran Barat diharapkan bisa menyinari atau memberi cahaya kekuatan dan perlindungan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat berkembang secara normal baik dari segi sosialisasi maupun pendidikan.
Program inklusi di MI Keji tentu bukan gagasan yang tiba-tiba muncul. Ada proses dan diskusi yang melatari itu semua. Semuanya berawal di sekitar tahun 2012-2013. Supriyono banyak berdiskusi dengan istri Kepala Desa Keji, Lani Setyadi. Lani merupakan istri Syekh Syakir, yang selain kepala desa juga pimpinan pesantren thoriqoh mu’tabaroh yang jaraknya kurang lebih 150 meter dari MI. Mereka memiliki anak autis. Lany ini kemudian mendedikasikan hidupnya untuk kesembuhan anaknya tersebut. Ia membawanya berobat ke pelbagai tempat, hingga Singapura. Beliau kemudian mendirikan Yayasan Yogasmara yang salah satunya menyelenggarakan Yogasmara Autism School. Dalam diskusi tersebut, kemudian terbersit untuk membuka pendidikan inklusi.
Di sisi lain, MI Keji adalah madrasah swasta yang jumlah siswanya fluktuatif. Bagi madrasah seperti ini, maka terobosan-terobosan penting perlu dilakukan sebagai daya tarik. Sehingga kemudian, hasil obrolan dengan Ibu Lani Setyadi itu bertaut dengan kebutuhan untuk membuat inovasi serta menciptakan daya tarik sekaligus peneguh identitas MI Keji. Lani kemudian menjadi konsultan ahli di MI. Bahkan di tahun-tahun awal pembukaan, Lani yang memberikan pengarahan-pengarhaan di sekolah. Untuk menguatkan kapasitas dalam bidang ini, beberapa orang guru diikutikan pelatihan-pelatihan di Semarang.
Supriyono, pria kelahiran 9 Juli 1974 ini berkisah, kalau pendidikan inklusi yang ada di MI Keji betul-betul dimulai dari nol. “Bahkan, terus terang saja saya sendiri awalnya tidak memiliki kerangka yang utuh tentang apa dan bagaimana itu inklusi,” kenangnya. Namun, lulusan asli MI Keji ini tak patah arang. Sejak mendapatkan pencerahan setelah berdiskusi banyak dengan Lani Setyadi, Supriyono kemudian banyak mencari tahu tentang inklusi. “Saya kemudian baca buku pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Itu referensi pertama yang saya kenali tentang pendidikan inklusi. Dan sangat bermanfaat sekali,” terang Sekretaris Pengurus Cabang LP Ma’arif Kabupaten Semarang.
Selain mencari referensi yang berkaitan pendidikan inklusi, alumnus Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang ini juga bekerjasama dengan psikolog, dokter anak, mitra keluarga mandiri, komunitas disabilitas dan stakeholder lainnya. Hasilnya, murid-murid di MI Keji terus merangkak naik sejak ia menjadi kepala sekolah di tahun 2012.
Meskipun demikian, menyelenggarakan pendidikan inklusi di sebuah madrasah tidak langsung berjalan mulus. Pada masa-masa awal penyelenggaraan, ada penolakan dari orang tua siswa yang tidak berkebutuhan khusus. Pihak sekolah sebenarnya sudah memberikan informasi bahwa sekolah akan membuka program khusus. Dengan begitu, maka akan ada anak-anak berkebutuhan khusus yang sekolah dan berbaur dengan siswa lainnya. “Masa anak saya sekolah bareng orang gila,” begitu protes salah satu orang tua kepada pihak sekolah seperti ditirukan Supriyono. Tentu ini sangat menyakitkan, tak hanya bagi orang tua siswa yang berkebutuhan khusus tapi pihak sekolah sendiri. Membeda-bedakan layanan sekolah berdasarkan perbedaan fisik tentu sesuatu yang tidak dikehendaki pihak sekolah. Karena memang demikianlah faktanya, ada perbedaan-perbedaan yang tentu saja bersifat lahiriah.
Secara perlahan, pihak sekolah kemudian memberikan pengertian kepada semua wali murid tentang niatan untuk membuka program inklusi ini. “Kami tertolong oleh salah satu wali murid yang kebetulan staf pengajar di IAIN Walisongo. Beliau yang kemudian membantu menjelaskan kepada wali murid yang lain tentang program inklusi ini sekaligus argumentasi-argumentasi keagamaanya,” kata Supriyono, seraya mengucap syukur. Hingga kemudian sampai saat ini program inklusi bisa diterima oleh seluruh wali murid serta siswa yang ada di kelas tentunya.
Jika kemudian ada tantangan, saat ini di MI Keji tidak ada pendidik yang memiliki basis Pendidikan Luar Biasa (PLB). Meski ada yang mengurusi inklusi, tapi latar belakang pendidikannya adalah Pendidikan Agama Islam (PAI). Akhirnya untuk membantu peningkatan kapasitasnya, pihak sekolah kerap mengirim guru tersebut untuk mengikuti pelatihan tentang pendidikan inklusi.
Aspek lain yang dirasakan masih perlu dicarikan solusinya adalah tentang standar prosedur penyelenggaraan pendidikan inklusi. Normalnya, anak-anak yang berkebutuhan khusus ini dibawa ke psikolog untuk kemudian dicari data-data mengenai kemampuannya. Ada observasi dan wawancara yang hasilnya kemudian diberikan ke sekolah. Pihak sekolah yang kemudian menangani siswa-siswa tersebut berdasarkan data yang dikirim oleh psikolog. Kendala seringkali muncul karena peserta didik kebanyakan datang dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Sehingga, mereka sering tidak mampu untuk membayar jasa psikolog.
Habitus Baru Memanusiakan Manusia
Jika sekarang siswa seperti Kania, Hilal, Viki Shakura dan 11 anak berkebutuhan khusus lainnya bisa ikut belajar dan membaur dengan teman-teman lainnya, tentu hal tersebut bukanlah sebuah hasil tanpa proses. Bukan situasi ajeg tanpa perubahan-perubahan di dalamnya. Ada alasan yang membuat mereka secara perlahan mengalami perubahan. Alasan itu pastinya adalah pendidikan inklusi di MI Keji.
Bayangkan misalnya bagaimana perilaku seorang anak hyper active. “Ada siswa hyper active yang tiba-tiba memukul setiap anak yang lewat di depannya tanpa alasan yang jelas. Tak hanya itu, dia tak jarang melukai teman-temannya itu,” Supriyono berkisah. Orang tua siswa lainnya, banyak yang kemudian memprotes pihak sekolah. “Kalau anak (berkebutuhan khusus) itu tidak dikeluarkan, anak saya akan saya pindahkan ke sekolah lain,” ancam salah satu orang tua siswa seperti ditirukan Supriyono.
Ada juga anak berkebutuhan khusus dengan polah yang mungkin hanya akan membuat orang tua menggeleng-gelengkan kepala. Ilham, guru konseling MI Keji menceritakan tentang salah satu muridnya yang berkebutuhan khusus tersebut. Satu waktu, teman-temannya menganggap sang anak bersalah karena satu hal. Tapi, ia tak mau mengakuinya. Tapi siswa yang lain tetap keukeuh, menganggap si anak tersebut yang melakukan kesalahan. “Aku pipis nih di kelas,” ancam si anak. Ternyata ia tak hanya mengancam, tapi benar-benar melakukannya. Seisi kelas pun dibuat kelabakan. Akhirnya mereka bersama-sama membersihkan kelas.
Bagi sekolah berbasis agama seperti MI Keji, praktek pendidikan harus benar-benar termanifestasi sebagai sarana memanusiakan manusia. Melalui pendidikan inklusi, dehumanisasi bisa disingkirkan jauh-jauh. Pengelola MI Keji menyadarkan kita bahwa pendidikan inklusi di madrasah bisa menjadi habitus baru humanizing “mutiara-mutiara.” [T-Kh/001]