Semarang, nujateng.com- Bangunan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Aliyah (MA) itu tampak tak terlalu besar. Tanah pekarangannya pun tidak terlampau luas. Terhalang satu rumah, sebelah kiri madrasah tersebut ada pesantren yang menyatu dengan rumah pengasuhnya. Yang mondok juga tak lebih dari 100 santri. Potret yang mungkin bersesuaian dengan letaknya yang ada di pedesaan. Meski berpredikat sebagai madrasah di sebuah kota (baca: Kota Semarang), tapi sekolah ini ada di pinggiran. Tepatnya, Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Berdasarkan data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 10 sekolah di Kelurahan Meteseh. Masing-masing adalah 2 Madrasah Ibtidaiyyah, 2 Sekolah Dasar, 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 2 MTs, 2 MA. Di sekitar Meteseh, dalam radius yang tidak lebih dari 5 kilometer, sekolah-sekolah tingkat atas juga banyak berdiri. Jika tidak memiliki kekhususan, tentu akan jatuh sama dengan lembaga pendidikan lainnya.
Situasi sosial tersebut dipahami betul oleh pengelola Yayasan Taqwal Ilah, institusi dimana MA Taqwal Ilah bernaung. Tak perlu waktu lama untuk mendesain kegiatan-kegiatan yang menunjang kebutuhan akademik siswa. Utamanya untuk menjawab dua kebutuhan praktis, menyiapkan siswa yang siap memasuki dunia kerja serta menyediakan alumnus yang bermanfaat bagi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
MA Taqwal Ilah beralamat di Jl. Tunggu raya No. 10 Tembalang Semarang. Berdiri diatas tanah seluas 1.500 m, MA ini berdiri sejak tahun 2002 dengan menerima 32 siswa. Selain MA, Yayasan Taqwal Ilah juga menyediakan institusi pendidikan di tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah), MTs, Pendidikan Anak Usia Dasar, Raudlatul Athfal, Madin Ula, Madin Wustho, TPQ serta Pondok Pesantren Putra dan Putri. MA berdiri belakangan dibandingkan MTs yang hadir terlebih dahulu.
Ulil Albab, S.Ag, kepala sekolah MA Taqwal Ilah menjelaskan, masyarakat Meteseh dan sekitarnya, sangat mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan praktis. Lulus sekolah kemudian bisa langsung bekerja. Sehingga, pihak sekolah kemudian mengikuti ekspektasi masyarakat; masih sekolah tetapi dilatih untuk bekerja. Sehingga, sejak 2002, sudah diterapkan kurikulum kewirausahaan. Dengan begitu, anak-anak kelas 2 diwajibkan magang 2 bulan untuk Praktek Kerja Lapangan (PKL). Mereka magang di perusahaan-perusahaan kecil laliknya toko swalayan, waralaba, bengkel, pabrik garmen, rumah makan, toko di pasar dan lainnya.
Banyak siswa yang kemudian memanfaatkan PKL sebagai jembatan untuk masuk ke dunia kerja. “Akhirnya, pasca lulus tak sedikit siswa yang kemudian ditarik di tempat dimana mereka PKL dulu. Siswa-siswa banyak yang kemudian keterusan. Masih sekolah, mereka sudah ditarik bekerja. Jadi sepulang sekolah, siswa-siswa itu pulang sekolah langsung berangkat ke tempat kerja. Tapi ada juga siswa yang karena mungkin merasa mampu, hanya memanfaatkan PKL sebagai kegiatan regular sekolah saja. Ya, kami membiarkan pilihan-pilihan itu,” Kyai Ulil menjelaskan.
Masyarakat, lanjut Kyai Ulil, kemudian kerap membandingkan lulusan satu sekolah dengan sekolah lainnya. “Alhamdulillah, alumnus madrasah kami jarang yang kemudian menjadi pengangguran. Juga tak pernah gengsi untuk bekerja di berbagai tempat. Masyarakat kemudian melihat sisi ini. Sehingga ada kepercayaan untuk menitipkan putera-puterinya dididik di MA Taqwal Ilah,” tukas alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang ini. Meskipun sudah nyaman di dunia kerja, Ulil sering mengingatkan mantan anak asuhnya itu untuk bisa melanjutkan kuliah. “Saya sering mengingatkan mereka, terutama anak-anak yang kebetulan berpenghasilan agak lebih. Kalau ada rejeki ditabung, lalu lanjut kuliah. Ambil ekstensi saja sehingga masih bisa tetap bekerja,” pesan Kyai Ulil, putera keempat pasangan (alm) KH. Syaikhun dan Hj. Ainun.
Praktik pendidikan di MA Taqwal Ilah, secara umum dibagi ke dalam tiga aspek keagamaan, kemasyarakatan dan kewirausahaan. “Magang di berbagai tempat kerja itu masuk dalam kategori kewirausahaan. Ini memang menjadi salah satu daya tarik orang tua siswa menyekolahkan anaknya ke Taqwal Ilah. Tapi, sebenarnya ini mungkin tidak terlalu banyak bedanya dengan sekolah lain. Karena banyak juga sekolah yang menyiapkan siswanya untuk masuk dunia kerja,” tambah Rotiyal Umroh, SHI, salah satu tenaga pengajar di MA Taqwal Ilah.
Seraya mengamini tuturan Umroh, Kyai Ulil menyampaikan bahwa ketertarikan masyarakat bersekolah di Taqwal Ilah adalah karena ada pelayanan atau kompetensi kemasyarakatannya. “Ini yang di sekolah lain tidak ada,” menegaskan. Kompetensi kemasyarakatan yang dimaksud adalah adanya program PPL dan PTL.
PPL dan PTL Sebagai Program Unggulan
PPL merupakan singkatan dari praktek pidato lapangan, sementara PTL adalah praktek tahlil lapangan. Program ini diperuntukan bagi siswa kelas 3 MA dan dilaksanakan pada semester kedua. Pada bulan Januari, semua siswa kelas 3, melaksanakan kegiatan sebagai salah satu uji kompetensi di bidang kemasyarakatan. Kyai Ulil sendiri yang melatih mereka berpidato sebelum kemudian turun langsung di masyarakat.
PPL-PTL dilaksanakan selama dua bulan di 16 desa/kelurahan yang ada di sekitar Kecamatan Tembalang, bahkan sampai Kecamatan Ungaran di Kabupaten Semarang. Di setiap desa, ditempati satu kelompok yang terdiri dari 8 orang. Hampir mirip dengan kuliah kerja nyata (KKN) bagi mahasiswa. Bedanya, saat pelaksanaan PPL-PTL, siswa tetap masuk sekolah pada pagi harinya.
Kyai Ulil menambahkan, faktor inilah yang menjadi ladang kepercayaan masyarakat terhadap MA Taqwal Ilah. Anak-anak peserta PPL-PTL wajib mengisi pengajian di berbagai tempat. Jika satu anak mengisi pengajian, maka anggota kelompok yang lain bertugas memimpin tahlil. “Dan bergiliran, semuanya harus mendapatkan bagian untuk mengisi pengajian dan memimpin tahlil. Itu berjalan selama dua bulan,” tambah Kyai Ulil. Setiap kelompok itu dipantau oleh seorang guru yang menjadi pembimbing di lapangan. Menariknya, nilai tidak diberikan oleh pihak sekolah, tetapi dari pimpinan majelis ta’lim atau pengajian yang diistilahkan dengan koordinator lapangan (korlap). Mereka yang menilai dan menyerahkannya kepada sekolah, dan kemudian pihak sekolah menyampaikan nilai itu apa adanya kepada siswa. “Jadi meski guru yang mengajar PPL-PTL, tetapi nilai diberikan kyai atau ustadzahnya,” terang Kyai Ulil.
Karena akan terjun di lapangan, tentu harus banyak hal yang harus disiapkan sebelumnya. Baik materi ataupun tekniknya. Praktis, hanya enam bulan teknik berpidato itu disiapkan. Salah satu yang menjadi daya tarik anggota pengajian adalah sholawatan. “Ketertarikan masyarakat akan sholawatan inilah yang kemudian membuat saya menyiapkan anak-anak untuk bisa menciptakan syi’ir karyanya sendiri. Tidak boleh menjiplak syi’ir yang lain. Setelah dilatih membuat syi’ir baru kemudian saya mengajarkan beberapa improvisasi di atas panggung” Kyai Ulil menjelaskan.
Latar belakang implementasi kegiatan pidato dan tahlil awalnya tak lepas dari profil KH. Ulil Albab sendiri. Beliau, selain menjadi kepala sekolah juga seorang muballigh. Kerap dipanggil untuk berceramah di berbagai acara, menjadi inspirasi awal baginya untuk mencetak siswa-siswi yang minimal bisa mengikuti jejaknya. “Awalnya saya berpikir begitu. Saya ini muballigh, masa murid-muridku tidak bisa menjadi muballigh. Atau paling tidak, anak-anak bisa bermanfaat di masyarakat. Jadi memang itu ide pokoknya,” Kyai Ulil bercerita. Sampai kemudian didesainlah kegiatan PPL-PTL sebagai salah satu kompetensi kemasyarakatan siswa.
Tidak hanya soal PPL-PTL, jawaban MA Taqwal Ilah terhadap kebutuhan praktis masyarakat tercermin dalam kegiatan praktek mulasara jenazah, mulai dari memandikan, mengkafani, mensholati, mengubur hingga menalqin. Dan kegiatan ini juga menjadi salah satu syarat kelulusan siswa. Praktek ini juga didasarkan atas pertimbangan praktis. Saat ini, modin di kota tidak mendapatkan bayaran. “Jadi mohon maaf kalau misalnya satu waktu modin itu agak kurang bergairah bekerja, harus dimaklumi dari sisi itunya,” kata Kyai Ulil. Karenanya, praktek mulasara jenazah itu juga bagian dari usaha untuk menumbuhkan semangat sosial. Sehingga, tidak hanya modin yang bekerja sosial, tetapi para siswapun memiliki jiwa sosial.
Kegiatan lainnya yang oleh MA Taqwal Ilah dianggap sebagai “kegiatan unggulan” adalah praktek menyembelih ayam kampung. Sama halnya dengan praktek mulasara jenazah, menyembelih ayam ini juga kompetensi kelulusan. “Saya meminta ayam jago yang disembelih. Karena itu lebih sulit. Jadi pertimbangannya, kalau sulit saja bisa yang mudah tentu lebih gampang. Kita menggunakan fiqih Imam Syafii, kerongkongannya putus, dan dua urat nadinya harus putus,” tutur Kyai Ulil.
Baginya, praktek menyembelih ayam ini tidak hanya belajar tentang praktek fiqih, tetapi juga shodaqoh, karena penyembelihan ayam ini dilaksanakan sehari sebelum haflah akhirussanah. Ayam-ayam itu yang disuguhkan kepada para tamu yang datang. [T-Kh/001]