Interpretasi Aswaja Elite NU dalam Perpolitikan

0
3038

Oleh: Muhamad Zainal Mawahib

 

Judul                     : Aswaja Politisasi Nahdlatul Ulama

Penulis                 : Abdul Halim

Halaman             : xix + 362 hal.

Penerbit              : LP3ES

Cetakan               : I, Februari 2014

ISBN                      : 978-602-7984-04-2

 

Sejak Nahdlatul Ulama (NU) memproklamirkan kembali ke khittah pada tahun 1980-an, muncullah ungkapan “NU tidak berada di mana-mana, tetapi ada di mana-mana”. Ungkapan ini sering dimunculkan oleh para tokoh NU dan tidak berubah hingga ketika sejumlah kyai bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada perkembangannya, lahir pula partai dari kalangan NU yang lain, yaitu Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).

Pada dasarnya NU sebagai organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik apa pun, termasuk di PKB atau PKNU. Namun dalam kenyataannya, banyak para kyai, kader dan anggota NU yang terlibat dalam partai politik dengan lingkup perngaruh dan intensitas yang berbeda. Bahkan keterlibatan mereka tidak hanya di dalam tubuh partai berbasis Islam, tetapi juga partai politik yang beraliran nasionalisme.

Kondisi yang demikian tidak lepas dari pola hubungan Islam dan politik yang terangkum dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang berpandangan bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, bahkan keduanya terikat secara struktural oleh sistem religius Islam yang formal. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk persoalan politik. Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa Islam tidak memiliki pola yang baku tentang teori politik dan negara, bahkan dalam al-Qur’an tidak dikenal istilah al-daulah (negara). Selain itu al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam, bukan buku pegangan dalam perpolitikan (hal. 2).

Dalam buku “Aswaja Politisasi Nahdlatul Ulama” ini, sepertinya secara eksplisit memandang bahwa NU lebih condong ke pandangan yang pertama. Disadari atau tidak ini tergambar dalam sejarah perjalanan NU. Sejak kelahirannya pada tahun 1926 hampir tidak lepas dari kehidupan politik, baik politik kenegaraan, kerakyatan maupun kekuasaan. Hal ini dapat kita lihat dalam pemikiran dan sikap politik NU yang dibangun atas dasar paham keagamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) untuk kepentingan bangsa dan negara. Di mana KH. Hasyim Asy’ari salah satu pendiri NU ketika ikut serta terlibat aktif membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia (hal. 3).

Akar Perbedaan

Fenomena keikutsertaan para elite NU ke beberapa partai politik, baik partai berbasis Islam maupun tidak Islam, hal itu tidak lepas dari perbedaan dalam menginterpretasi makna Aswaja itu sendiri. Padahal apabila dirujuk, dasar yang digunakan untuk memahami tentang makna Aswaja adalah sama, yakni berangkat dari teks al-Qur’an dan hadits. Dengan menggunakan kerangka teoritis Hermeneutik Gadamer, Abdul Halim penulis buku ini menyimpulkan bahwa pemahaman Aswaja para elite NU tentang ideologi politik melahirkan beragam persepsi terhadap partai-partai yang menjadi lahan kiprah para elite NU (hal. 91).

Secara garis besar, perbedaan pemaknaan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu literalis (atsariyah), rasionalis (nazhariyah) dan spiritualis (shufiyah). Masing-masing kelompok menggunakan metode pemahaman yang berbeda satu sama lain. Hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor pemahaman pendahulu, posisi, pendidikan, bahasa, budaya dan kepentingan praktis elite (hal. 203). Perbedaan-perbedaan pemaknaan Aswaja ini pada akhirnya berimplikasi terhadap aspek-aspek lain yang berkaitan dengan ideologi politik, kepemimpinan dan demokrasi, kesetaraan antar warga, formalisasi syari’at Islam dan kebijakan publik.

Buku yang semula merupakan disertasi yang diajukan dan dipertahankan oleh Abdul Halim pada program doktoralnya ini mencantumkan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan yang dirangkum dalam buku yang berisi 6 (enam) Bab ini menjawab ideologi politik NU yang belum banyak dilakukan secara tuntas dalam kajiannya. Pemaparan yang sistematis dan komprehensif menjadikan buku ini lebih mudah untuk dipahami pesan buku tersebut.

Dengan hadirnya buku ini tentu akan memberikan pencerahan tentang mata rantai perbedaan para elite NU yang terlibat di berbagai partai politik. Walaupun demikian, tindakan politik yang menyangkut kepentingan umum (al-mashlahat al-ammah) sudah selayaknya didukung dan diperjuangkan oleh setiap elemen masyarakat, terlebih elite NU dalam berkiprah di partai politik. [001]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.