Oleh: Muhamad Zainal Mawahib
Pengurus Lajnah Falakiyah PWNU Jawa tengah
Judul : Nahdlatul Ulama; Dari Politik Kekuasaan sampai Pemikiran Keagamaan
Penulis : Sumanto Al Qurtuby
Halaman : xxx + 243 halaman
Penerbit : eLSA Press
Cetakan : I, April 2014
ISBN : 978-602-14855-2-1
Kelahiran institusi (jam’iyyah) yang bernama Nahdlatul Ulama (NU), dalam konteks nasional, tidak lepas dari reaksi atas munculnya berbagai organisasi masyarakat (ormas) keagamaan pengusung modernis-reformis. Sedangkan dalam konteks internasional, dipicu adanya perubahan sosial-politik yang terjadi di Arab Saudi, yakni pada kekuasaannya Raja Abdul Aziz Ibnu Sa’ud yang berpaham Wahabi sebagai penguasa baru.
Pembentukan institusi ini sebagai organisasi struktural, hanyalah sebagai bentuk formalisasi. Sebab jauh sebelum institusi ini dideklarasikan, para ulama pesantren telah menjalin komunikasi intensif untuk membicarakan perkembangan keagamaan dan masalah sosial-politik pada umumnya, terlebih dalam konteks Indonesia.
Para kyai yang dimotori oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah merasa khawatir penguasa yang berhaluan Wahabi ini bisa menimbulkan destabilitas umat Islam karena wataknya yang sangat puritan, anti hal-ikhwal yang berbau tradisional dan anti mazhab. Bahkan eksistensi ormas pengusung modernisme semakin menjalar di Jawa ini ikut memberikan inspirasi pembentukan NU.
Dalam konteks ini, keberadaan modernis-reformis di Jawa, menjadikan para ulama pembela tradisi mendapatkan ancaman serius dari berbagai ormas yang memiliki semangat yang sama dengan Wahabi. Ormas ini seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan al-Irsyad yang begitu keras menyarang sistem mazhab, tradisi dan budaya lokal yang selama ini menjadi identitas kalangan ulama tradisional, (hal. 10). Selain itu juga, kehadiran agresifitas kaum pembaharuan Islam itu bisa mengendorkan keberislaman kaum awam tradisonal, maka sebagai elite tradisional harus bertanggung jawab untuk membendung akses yang tidak diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam catatan sejarah, berkali-kali terjadi debat terbuka yang berlangsung sengit dan penuh fanatisme antara KH. Achmad Dahlan, KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), Syeikh Ahmad Soorkati (al-Irsyad), A. Hasan Bandung (Persis) yang mewakili kubu pembaharu melawan KH. Wahab Chasbullah, KH. R Asnawi, KH. M Dahlah Kertosono dan lain-lain yang membela tradisi. Perdebatan ini berlangsung lama, meskipun hanya pada persoalan furu’iyah seperti tahlil, talqin mayit, ushalli, qunut, sebutan sayyid untuk Nabi Muhammad dan soal-soal lainnya. Bagi pembela tradisi, fenomena ormas Islam pembaharu tersebut juga dipandang dapat mengancam praktek keagamaan tradisional masyarakat Islam, khususnya di pedesaan dan sistem serta nilai-nilai kepesantrenan yang lama mereka bangun dan memperjuangkan sebagai bagian dari tradisi Walisongo, (hal. 11).
Mata Rantai Inteletual NU
Sejak kekuasaan Andalusia yang merupakan pusat kejayaan Islam pada waktu itu jatuh ke tangan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Portugal di penghujung abad ke-15, lambat laun Eropa mulai memasuki kawasan-kawasan Islam. Maka sejak itu pula mental psikologi umat Islam dropt apalagi sebelumnya mereka juga pernah mengalami kepahitan serupa terutama ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol pada abad ke-12. Sejak itu pula, semangat mengkaji ilmu-ilmu keislaman yang sebelumnya sangat mengala-nyala, tiba-tiba nyaris mengalami kemandegan.
Sebagai gantinya, maraklah praktek-praktek mistik, tarekat, klenik dan segala hal yang berbau irasional. Realisasi keterpurukan kebangkrutan inilah yang mendorong sejumlah pemikir muslim progresif dan pembaharuan intelektual keagamaan pada abad ke-19. Mulailah mereka mengembangkan sejenis doktrin modernisme Islam yang bertumpu pada pembaharuan teologis dengan ciri-ciri yang menonjol melakukan purifikasi ajaran keislaman, anti mazhab (taqlid), dan anti tradisi lokal. Sehingga pada masa ini dikenal sebagai masa gerakan kebangkitan, (hal. 57).
Di Indonesia, gerakan kebangkitan ini direspon secara positif oleh ormas-ormas pembela modernisme, seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Sarekat Islam (SI) dan lainnya. Sebetulnya NU setuju bahwa dunia Islam harus dibangkitkan secara politik dan intelektual guna melawan penjajah dan mengembalikan supremasi Islam. Akan tetapi mereka menolak jika kebangkitan itu dilakukan dengan cara menghapuskan tradisi keislaman klasik dan kebudayaan lokal.
Bagi kelompok yang sering disebut sebagai kelompok tradisionalis ini, pembaharuan tidak harus melalui jalan menolak tradisi tetapi bisa dilakukan dengan berpihak pada tradisi. Dalil yang menjadi landasan pemikiran ini adalah “al-muhafadlah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”. Itu berarti dalam pandangan NU, tidak semua tradisi itu buruk, usang serta tidak mempunyai relevansi dengan kekinian. Penegasan atas pemihakan terhadap apa yang diwariskan masa lalu Islam itu, diwujudkan dalam sikap bermazhab yang menjadi ciri khas NU, (hal. 59).
Pandangan demikian tentu saja bukan lahir spontan atau bahkan sebatas ingin beda dengan ormas modernis Islam yang menjadi rival pemikiran keagamaan selama ini. Melainkan sebuah proses panjang yang tidak lepas dari mata rantai intelektual yang turut membentuk para pendiri NU. Bahkan semua tokoh pendiri NU Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syansuri, Kyai Ridwan Abdullah, Kyai Raden Asnawi Kudus, Kyai Mas Alwi dan lain-lain, di samping itu juga Kyai Hasyim Asy’ari sendiri, adalah para santri dari ulama Sunni di Makkah dan Madinah yang terkenal dengan sebutan Haramain. Begitu juga bisa dipastikan orang tua beliau juga para ulama pengikut dan penganjur tradisi Sunni melalui lembaga pesantren di Jawa, (hal. 61).
Keberadaan lembaga pesantren di Jawa merupakan lembaga keislaman yang mengajarkan segala hal-ihwal yang berkaitan Sunni. Hal ini dapat dilihat dari daftar kitab yang digunakan sebagai bahan pegangan pengajaran yang semuanya mengacu pada intelektual Sunni. Hal ini yang membedakan, apabila kaum modernis Islam di Indonesia menjadikan Mesir sebagai kiblat intelektual karena di sana ada sosok Muhammad Abduh yang sangat dibanggakan.
Maka NU menjadikan Makkah dan Madinah tidak hanya sebagai rujukan intelektual tetapi juga kiblat spiritual karena di kota suci ini umat Islam itu terdapat sederetan ulama Sunni yang memiliki reputasi intelektual mengagumkan dan kharisma spiritual yang luar biasa. Di antara para ulama Sunni yang dimaksud adalah Syeikh Nawawi Banten (1813-1897), Syeikh Mahfudh Termas (w. 1999), Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) dan Kyai Khalil Bangkalan (1819-1925). Mereka dikenal sebagai ulama Sunni yang tangguh, (hal. 62).
Patut dicatat dari jaringan ulama yang membentuk nalar para pendiri NU di atas adalah para ulama Sunni –terutama mazhab Syafi’i– yang tidak lagi diragukan lagi identitasnya. Para ulama itu bahkan ada yang keturunan langsung dari tokoh Sunni mula-mula, meskipun tidak sedikit juga yang menjadi Sunni karena menjadi murid ulama Sunni. Hal ini bisa dilihat dari silsilah keluarga maupun silsilah para guru mereka sebelumnya. Seperti Kyai Hasyim Asy’ari mendapatkan ijazah hadits dari Syeikh Mahfudh Termas, Syeikh Mahfudh mendapatkan ijazah itu dari Syeikh Abu Bakar al-Makki, Syeikh Abu Bakar dari Syeikh Zaeni Dahlan begitu juga seterusnya sampai Imam Bukhari.
Melihat akar historis geneologi pemikiran keislaman para pendidi NU ini, maka sangatlah wajar dan rasional apabila NU kemudian berkiblat pada Sunni. Bahkan sampai sekarang hubungan harmonis Jawa-Haramain ini terus berlanjut. Pasca para kyai pendiri NU, hubungan intelektual-spiritual para kyai dengan ulama Sunni di Makkah dan Madinah masih tetap berlangsung. Banyak para kyai dan anak-anak mereka yang disekolahkan di sana. Itulah sebabnya ketika Sayyid Muhammad Alwi meninggal belum lama ini –akhir Oktober 2004– banyak para Kyai NU yang turut berkabung. Karena beliau Sayyid Muhammad Alwi salah satu ulama Sunni yang disegani sebagai pewaris ulama sebelumnya yang menjadi gawang Sunni di Makkah dan Madinah yang dikuasai rezim Sa’ud, (hal. 71).
Pesantren sebagai Agen Transmisi Intelektual
Selain faktor para ulama Sunni di Makkah dan Madinah yang menjadi guru pendiri NU, corak dan bangunan pemikiran keagamaan NU yang Sunni sentris juga dibentuk oleh tradisi pesantren yang sudah lama mapan di Jawa. Pesantren sebagai lembaga tradisional Islam yang sudah ada jauh sebelum pendirian organisasi NU. Bahkan bisa dikatakan pesantren ini sebagai ruh dari NU itu sendiri. Sebab apabila diputus hubungan NU dengan pesantren, maka berakhirlah riwayat dan identitas NU. Ini artinya memutus NU dari pesantren sama dengan mutus historisitas dan akar kultur NU itu sendiri. Bahkan ada ungkapan yang sangat populer di kalangan kaum nahdliyin “NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil”.
Pesantren sebagai lembaga yang merawat tradisi Sunni itu setidaknya bisa dilihat dari kitab kuning yang diajarkan oleh para Kyai atau pengasuh pesantren. Jauh sebelum NU meneguhkan sebagai ormas Islam berbasis Sunni, pesantren telah lama mengsandarkan pada tradisi Sunni. Para kyai mengajakran kitab kuning berafiliasi Sunni kepada santri, (hal. 74). Berangkat dari sini sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa kitab kuning menjadi teks book, referensi dan kurikulum dalam sisten pendidikan pesantren seperti yang kita kenal sekarang.
Dalam konteks masyarakat yang warna-warni dan dengan berbagai latar belakang untuk menyantri di pesantren, Kyai dituntu untuk mengembangkan keislaman yang lebih mengedepankan pada dialog, bukan konfrontasi. Maka di dalam pesantren pun didesain untuk mewadahi dan menampung realitas ortodoksi dan herodoksi sekaligus. Dari pesantren inilah kyai kemudian dikenal sebagai cultural broker karena prestasinya yang mampu menjadikan agen perubahan sosial keislaman tanpa memunculkan ketegangan di masyarakat, (hal. 82).
Melalui buku ini, Sumanto al Qurtuby ingin mengatakan bahwa kemunculan NU sebagai organisasi sosial dan keagamaan pada tahun 1926 harus dilihat sebagai proses panjang, sebagai kontiniutas dari tradisi pesantren yang sudah lama ditanamkan dan dikembangkan para kyai di Jawa, baik tradisi dalam pengertian pemikiran keislaman Sunni yang memang sudah lama mengakar dalam kognisi para kyai, maupun tradisi dalam konteks kultur keagamaan yang merupakan sintesis dari tradisi dan kebudayaan setempat, (hal. 83). Sehingga para pembela tradisi ini merasa bertanggung jawab untu menghadang gelombang pembaharuan di Indonesia, khususnya di Jawa.
Walaupun sudah banyak karya akademik yang mengupas tuntas fase-fase sejarah politik atau non-politik, namun jarang sekali buku yang memposisikan sejarah tersebut dalam konteks geneologi perseteruan modernitas-tradisionalis, serta dinamika pemikiran keagamaan NU. Dalam kajian itulah buku ini hadir untuk mendedah hal tersebut dengan berbagai sisi. Buku ini semakin lengkap dengan hadirnya pemikiran Sumanto dalam membedah epistemologi fiqh NU, bahkan mengkaji konsistensi epistemologi bahtsul masa’il dan memotret dinamika pemikiran keagamaan anak-anak muda di tubuh NU. Walhasil buku ini sangat penting bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang dinamika pemikiran keislaman NU dan kekayaan serta kompleksitas Islam di Indonesia. [001]